Selasa, 19 September 2017

KEHIDUPAN MASYARAKAT AWAL INDONESIA MASA BERCOCOK TANAM


Roda kehidupan selalu bergerak. Begitu juga dengan peradaban manusia. Kehidupan awal yang dialami manusia mulai dari berpindah-pindah tempat, nguber-nguber binatang buruan, kadang juga gantian yang diuber-uber binatang buas, hingga hidup di gua-gua gelap sudah menjadi ciri khas mereka. Mereka jenuh dan bosan hidup seperti itu terus menerus. Untungnya, Tuhan memberi manusia akal yang luar biasa sehingga selangkah demi selangkah, pemikiran mereka terbuka dan mampu mengembangkan peradabannya ke arah yang lebih baik.

Tulisan kali ini akan sedikit membahas perkembangan peradaban tersebut, yakni mengulas kehidupan manusia praaksara pada masa bercocok tanam. Semoga sedikit informasi ini bisa membuat pengetahuan tentang kehidupan masyarakat awal di Indonesia semakin bertambah.

Lingkungan Alam


Seperti inilah gambaran kehidupan masyarakat bercocok tanam dan beternak. Tampak ada yang mbabati rumput dan otewe mau mencangkul lahan ditenami si guguk 



Pada masa bercocok tanam, manusia berkelompok dalam jumlah yang agak besar dibandingkan masa berburu dan meramu. Besarnya jumlah anggota kelompok ini memaksa mereka menetap di suatu tempat dalam waktu yang agak lama (semi permanen) dan menyediakan persediaan makanan dalam jumlah besar sehingga tidak perlu ber-nomaden lagi.


Selain bercocok tanam, masyarakat praaksara juga menjinakkan binatang seperti sapi purba, kerbau purba, anjing, kuda, dan binatang lainnya. Hal ini bertujuan agar persediaan makanan tetap terpenuhi sembari menunggu panen

Ini ilustrasi ketika mansuia praaksara bisa menjinakkan si guguk


Kehidupan awal bercocok tanam dimulai ketika masyarakat pada zaman itu secara tidak sengaja membuang biji buah atau tumbuhan lalu memperhatikan bahwa biji yang mereka lempar sembarangan itu dapat tumbuh kembali dan dimanfaatkan untuk dikonsumsi lagi. Selain itu, untuk menopang persediaan makanan agar lebih banyak, masyarakat praaksara melakukan praktek domestikasi binatang seperti kuda, anjing, sapi, kambing, dan kerbau. Melalui pola kehidupan semi menetap yang sederhana inilah, manusia mampu menguasai lingkungan tempat tinggalnya.

Kegiatan slash and burn, atau bahasa kerennya "mbabat dan mbakar alas". Sudah dipraktekkan sejak zaman praaksara untuk kegiatan bercocok tanam


Kegiatan bercocok tanam pertama kali yang dipraktekkan masyarakat saat itu adalah berhuma atau bahasa kerennya “slash and burn” atau bisa juga pakai bahasa jawa “mbabat alas”. Berhuma adalah teknik bercocok tanam dengan cara menebang dan membakar hutan untuk ditanam-tanami tumbuhan konsumsi. Setelah tanah hasil berhuma dianggap tidak subur lagi, masyarakat akan pindah dan mencari bagian hutan yang lainnya lagi. Lalu menerapkan teknik berhuma, begitu seterusnya.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat pada saat itu memikirkan kembali untuk hidup menetap dalam waktu yang cukup lama, bahkan bisa beberapa generasi di tempat yang sama. Oleh karena itu, kehidupan bercocok tanam mulai diterapkan dalam bentuk tanah-tanah persawahan (Badrika, 2006:103).

Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial masyarakat pada masa bercocok tanam mengalami perkembangan yang cukup pesat. Masyarakat pada masa ini sudah hidup menetap. Dampaknya, hubungan antar anggota kelompok semakin erat. Eratnya hubungan antar manusia itu, menjadi cermin bahwa manusia adalah makhluk sosial. Artinya saling membutuhkan dan bergantung pada manusia lainnya.

Kerjasama dan gotong royong sudah dilakukan oleh manusia praaksara saat zaman bercocok tanam. Tampak ada yang memanen, menggembalakan binatang ternak, dan membangun tempat tinggal sederhana

Pada masa ini pula masyarakat sudah mulai menerapkan sistem gotong royong. Ketika menggarap sawah secara sederhana, dilakukan secara bersama-sama, ketika merambah hutan untuk menerapkan teknik berhuma, juga dilakukan secara gotong royong. Bahkan ketika akan melakukan domestikasi binatang (memelihara binatang) dengan ukuran cukup besar seperti kerbau dan kuda, beberapa anggota masyarakat juga melakukannya secara kolektif.

Pada masa bercocok tanam, di dalam kelompok masyarakat biasanya terdapat tokoh kepala suku. Sosok kepala suku merupakan orang yang selalu dihormati dan ditaati untuk memimpin kelompok masyarakatnya. Intinya anggota kelompok selalu sendiko dawuh dan andhap ashor kepada ketua kelompoknya.

Kehidupan Budaya
Perkembangan alat-alat pada masa bercocok tanam mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini dikarenakan manusia mulai mampu mengembangkan dirinya untuk menciptakan kebudayaan yang lebih baik sesuai kebutuhan hidupnya.

Hasil-hasil kebudayaan masyakarat pada masa bercocok tanam antra lain:
a. Beliung Persegi


Beliung Persegi..kok sepertinya malah mirip kue bantet brownis

Beliung persegi banyak ditemukan di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Alat ini diduga benda yang digunakan dalam upacara-upacara kelompok masyarakat.

b. Kapak Lonjong


Kapak lonjong..sudah dihaluskan..kemungkinan ini ini mirip cobek generasi pertama, untuk mendeplok sambal

Kapak lonjong banyak ditemukan di Indonesia bagian Timur seperti di daerah Maluku dan Papua. Bentuknya berupa batu lonjong pada ujungnya. Ukurannya ada yang besar dan kecil. Dipercaya kapak lonjong terbuat dari batu sungai yang berwarna kehitam-hitaman dan pembuatannya dengan cara diupam sampai halus.

c. Mata Panah


Mata panah atau bahasa kerennya arrowheads. Dibuat untuk menangkap ikan pada masa bercocok tanam dan beternak

Mata panah digunakan untuk menangkap ikan di sungai-sungai. Pada umumnya mata panah untuk menangkap ikan dibuat bergerigi seperti mata gergaji. Mata panah sendiri terbuat dari tulang-tulang binatang buruan.

d. Gerabah


Gerabah, tempat menyimpan perhiasan pada bercocok tanam


Gerabah berfungsi menyimpan benda-benda perhiasan. Gerabah sendiri terbuat dari tanah liat yang dibakar, lalu dihias dengan ragam seni. Hal ini mengindikasikan bahwa pada waktu senggang menunggui panen dari bercocok tanam, manusia mencurahkan ide-idenya sehingga dapat membuat berbagai seni.


Kehidupan Ekonomi


Ilustrasi barter ketika masa bercocok tanam. Wedhus kok ditukar dengan dua tandan pisang.


Pada masa bercocok tanam, masyarakatnya sudah mengenal sistem penukaran barang dengan barang atau lebih dikenal dengan nama barter. Hal ini dilakukan karena tidak ada kelompok masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Terbatasnya sumber daya dan semakin banyaknya anggota kelompok memaksa mereka menjalin hubungan dengan kelompokl ain di luar wilayah tempat tinggalnya.


Misal, masyarakat yang hidup di pegunungan membutuhkan bahan–bahan seperti ikan laut dan garam. Sebaliknya masyarakat yang tinggal di pesisir pantai juga membutuhkan beras, sayur dan buah-buahan. Nah karena sudah saling kode mengkode kebutuhan antar dua masyarakat yang berbeda lingkungan ini, terciptalah tukar menukar barang. Misal sayur-sayuran ditukar dengan ikan laut. Pertukaran barang dengan barang semacam inilah yang menjadi awal munculnya sistem perdagangan pada masa-masa selanjutnya.

Semakin berkembangnya sistem sosial dan ekonomi pada masyarakat yang hidup pada masa bercocok tanam membuat sistem perdagangan semakin maju. Oleh karena itu, disepakati adanya tempat khusus untuk menampung hasil makanan maupun kebudayaan yang dihasilkan antar kelompok masyarakat. Tempat khusus inilah yang menjadi cikal bakal terciptanya pasar, yaitu tempat bertemunya penjual dan pembeli.

Sistem Kepercayaan


Kepercayaan terhadap roh nenek moyang sudah dipercaya masyarakat praaksara. Tampak lukisan "roh" yang terpatri di dinding bersosok manusia dan sapi

Pada masa bercocok tanam, kepercayaan masyarakat terkait seseorang yang sudah meninggal semakin bertambah. Mereka beranggapan orang yang sudah meninggal pergi ke suatu tempat yang lebih tinggi dari orang yang masih hidup. Roh orang yang sudah meninggal tersebut dipercaya masyarakat dapat dipanggil kembali untuk menanggulangi berbagai problem di dalam kelompoknya, seperti wabah penyakit dan serangan binatang buas.


Menhir, tugu raksasa yang dipercaya masyarakat bercocok tanam dalam memujua roh nenek moyang

Selain itu, penghormatan dan pemujaan terhadap roh nenek moyang terlihat melalui bangunan-bangunan besar yang terbuat dari batu. Batu-batu itu selalu ditempatkan di tempat yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Bisa ditempatkan di puncak bukit dan lereng gunung. Bahkan jika kita melihat kehidupan saat ini, kita masih bisa melihat upacara-upacara pemujaan terhadap roh nenek moyang seperti gambaran pada masa bercocok tanam dari beberapa suku di Indonesia.

Kesimpulan
Kehidupan masyarakat pada masa bercocok tanam mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini dapat terlihat dari pola hidup yang sudah menetap, sudah menerapkan kegiatan berhuma untuk membuka ladang persawahan, kehidupan gotong royong semakin terlihat jelas, sistem barter dan pasar sederhana juga dilakukan. Selain itu, benda-benda peninggalan masa bercocok tanam juga masih mengalami perkembangan menuju arah yang lebih beragam dan halus. Masyarakat pada masa bercocok tanam juga mempercayai adanya kekuatan lain di luar kemampuannya dengan cara memberikan pemujaan kepada roh orang yang sudah meninggal.

Pelajaran yang bisa dipetik yakni kita sebagai manusia wajib bersyukur karena kita dilahirkan sebagai makhluk paling cerdas dan mampu membuat peradaban. Peradaban-peradaban itu berkembang dari zaman ke zaman menuju arah yang lebih baik. Bahkan budaya zaman sekarang ada karena dulu pada masa lampau sudah dipraktekkan.

Oleh:

Baihaqi Aditya, S.Pd

1 komentar: