Topografi padang pasir memang sudah menjadi labelling dari kawasan Timur-Tengah dan Afrika Bagian Utara. Seakan-akan pikiran masyarakat awam sudah terpatri bahwa padang pasir memang hanya diperuntukkan Tuhan Yang Maha Esa bagi negara-negara Arab saja. Tidak salah sih pemikiran semacam itu, tapi juga tidak dapat dibenarkan.
Dunia adalah cakrawala yang sangat luas. Memang benar bahwa Timur-Tengah sebagian besar adalah gurun, akan tetapi menjadi tidak benar apabila hanya negara-negara di kawasan Arab saja yang memiliki hamparan padang pasir luas. Sudut-sudut dunia membuktikan bahwa gurun juga ada di Australia, suatu wilayah besar di bumi bagian selatan yang jaraknya sangat jauh dari horizon Timur-Tengah.
Lukisan Pemukiman Koloni Australia Barat sumber: www.wanowandthen.com |
Australia Barat, Wajah “Kering” Negeri Kangguru
Australia Barat merupakan anomali. Jika kita melihat peta konvensional maupun peta digital dengan mode satelit, maka akan tampak bahwa bagian barat punya sesuatu yang berbeda. Dominasi warna kuning bergradasi dengan coklat-oranye adalah hal yang akan kita temukan. Berbeda dengan Australia Timur dimana justru hijau menjadi mayoritas disana.
Ya..Australia Barat menyuguhkan kenampakan alam yang sebagian besar merupakan padang pasir. Banyak sekali formasi pegunungan berbatu terhampar disana. Mirip-mirip yang ada di Timur-Tengah sana. Kawasan tersebut juga menjadi rumah bagi spesies kangguru, dingo, hingga unta*. Sedangkan tetumbuhan jenis kaktus juga tak kalah banyaknya. Sebab itulah Australia Barat seakan-akan menjadi bagian ”gersang” dari Australia.
Peta Australia Barat sumber: www.lonelyplanet.com |
Saat ini, Australia Barat menjadi salah satu negara bagian dari negeri Kangguru. Perth dipilih menjadi ibukotanya. Bagaimana bisa wilayah yang kering, tandus, gersang, dan berpasir seperti itu ditinggali kurang lebih 2,6 juta jiwa Australian saat ini?
Terabaikan Oleh Demam Kolonial di Abad Pelayaran
Benua Eropa menuliskan kedigdayaannya dalam catatan sejarah pada kurun akhir abad 15 hingga awal abd 19. Nama-nama besar seperti Inggris, Perancis, Belanda, Portugis, maupun Spanyol sudah merasuk ke dalam berbagai kisah penaklukan wilayah. Kontinen Asia, Afrika, Amerika kemudian disusul benua Australia pernah merasakan sensasi penjajahan yang dilakukan negeri-negeri Eropa tersebut. Dibandingkan benua yang lain, Australia seakan terlambat untuk dijejali.
Dirk Hartog, kapten kapal berkewarganegaraan Belanda mungkin tidak akan mengira bahwa namanya terabadikan sebagai orang Eropa pertama yang silaturahmi ke Terra Australis Incognita bagian barat. Pelayarannya pada tahun 1607 menjadi bukti shahih bahwa si Londo itu pernah berkunjung kesana meskipun hanya sebagai tempat singgah saja sebelum mengangkat jangkar karena segera bertolak ke Batavia (Jakarta) untuk menyelesaikan urusannya dengan Kongsi Dagang Belanda. Pantai Australia Barat yang saat itu disinggahinya tidak begitu menarik untuk ditinggali dalam waktu yang lama. Artinya, pesona Australia bagian barat gagal menarik minat bangsa Belanda untuk mengukuhkan kekuasaan kolonialnya.
Puluhan tahun berlalu sejak kedatangan rombongannya Dirk Hartog, wilayah Australia Barat masih adem-ayem dari kedatangan para pelaut Eropa. Suku Aborigin yang menetap disana masih menjalani kehidupan yang sangat terikat dengan tradisi para leluhurnya. Aktifitas seperti berburu Kangguru, menangkap ikan, dan terkadang berselisih dengan sesamanya menjadi pemandangan yang sudah biasa pada saat itu.
Memasuki akhir abad 17, tepatnya tahun 1688, kapal Cygnet yang dikomandoi privateer* dari Inggris, William Dampier terdampar di Pantai Australia Barat. Bahkan Dampier sempat menamai salah satu bagian dari kesatuan pantai tersebut dengan nama Sharks Bay dikarenakan hampir setiap hari awak kapalnya berburu hiu yang tersedia banyak di kawasan itu. William Dampier sukses mengukuhkan namanya sebagai the first british who landed in Western Australia.
Potret William Dampier, privateer yang cinta tanah kelahirannya sumber: www.sharkbay.org |
Kuartal kedua abad 18 hingga awal abad 19 Kerajaan Inggris kokoh menancapkan pengaruhnya di Australia. Hampir seluruh wilayah Australia bagian Timur sudah cukup padat. Salah satu koloni yang paling sibuk dan berkembang pesat adalah New South Wales. Sementara itu disaat yang bersamaan, keberadaan Australia Barat masih masuk waiting list.
Labelling buruk saat itu terkait Australia Barat yang sudah terlanjur melekat antara lain: tanahnya yang tidak menarik, gersang, curah hujan minim, dan dianggap berbahaya karena banyakny binatang liar dan agresif, belum ditambah dengan tidak bersahabatnya suku-suku asli disana menjadikan Australia Barat berkesan jauh dari menjanjikan.
Sejak “terdamparnya” kapal William Dampier pada tahun 1688, tidak ada tanda-tanda progresif dari penduduk koloni New South Wales untuk mengekspansi bagian barat Australia. Hingga di kemudian hari, keadaan genting memaksa para pemangku jabatan di New South Wales memberi perhatian lebih disana.
Harga Diri Great Britain Awal Dari Kolonisasi
Inggris dan Perancis bisa dibilang dua kebanggaan benua Eropa dalam hal kolonialisme. Akan tetapi hubungan keduanya mirip seperti persaingan minimarket ind*m*rt dengan alf*m*rt yang sudah menjadi rahasia umum di Indonesia. Baik Inggris maupun Perancis ingin menjadi yang terbaik. There is no two sun in the world. Prinsip tersebut dipegang dan terpatri dengan baik di pikiran tiap masyarakat kedua negara.
Kehadiran kapal berbendera Perancis yang dilaporkan terlihat di pantai Australia Barat pada awal abad ke 19 membuat gatal pemerintah koloni New South Wales. Rasa nasionalisme berlebihan terhadap negeri induk membuat para pemangku kebijakan di Australia Timur tersebut merasa berkewajiban harus mengambil langkah pencegahan agar rival Inggris mereka tidak menginjakkan kaki di Australia. Ibarat wajah yang mulus, apabila membiarkan Les Blues mengklaim Australia Barat sama saja seperti setengah wilayah Australia ditumbuhi jerawat akut. Pokoknya anti banget penduduk koloni Australia dengan segala hal yang berbau Perancis saat itu.
Pemerintahan New South Wales memberi quest penting kepada Mayor Edmund Lockyer untuk membangun pemukiman kecil sebagai frontier post. Langkah tersebut diambil dengan tujuan sebagai pertahanan awal untuk mencegah Perancis ikut-ikutan ingin menyerobot Australia menjadi bagian dari wilayah jajahannya. Rombongan Mayor Lockyer memulai misinya pada 1827. Terbentuklah koloni kecil di kawasan Albany sebagai langkah awal agar Australia Barat dijadikan sebagai koloni Inggris.
Potret Mayor Edmund Lockyer sumber: www.wanowandthen.com |
Terbentuknya koloni di Albany belum memberikan jaminan aman bagi Inggris untuk mengamankan wilayah Australia Barat. Oleh sebab itu, pemerintah koloni New South Wales juga memberi misi kepada Kapten James Stirling dan teman baiknya yang seorang botanis* bernama Charles Fraser. Misi yang diemban keduanya yaitu menyelidiki dan mempelajari secara mendalam kawasan Swan River (Sungai Angsa) terkait kelayakan untuk dibuka koloni baru di tempat tersebut.
Tahun 1827 berangkatlah James Stirling dan Fraser menuju Swan River. Secara seksama dan mendetail keduanya mempelajari kawasan tersebut. Penamaan Swan River didasarkan pada banyaknya angsa hitam liar yang berenang dan berhabitat di sungai tersebut. Setelah dipetakan, dipertimbangkan serta dihitung untung-ruginya, keduanya sepakat bahwa daerah sekitar Swan River layak dicoba untuk dibuka pemukiman baru.
Pemandangan dari udara Swan River dari Kota Perth sumber: www.perthnow.com.au |
Pemandangan Swan River dengan beberapa angsa hitam khas Australia Barat di tepi Kota Perth sumber: www.flickr.com |
Setelah penyelidikan Stirling selesai, pemerintah koloni New South Wales memerintahkannya untuk segera bertolak ke Inggris guna mempresentasikan hasil temuannya di depan para pejabat negeri tiga singa. Sayang sekali, setibanya di Inggris dan selesai menjabarkan berbagai hal baik tentang potensi di Swan River, ternyata penolakan adalah jawaban yang diterima oleh James Stirling. Pihak Kerajaan berpandangan, untuk mendirikan koloni baru pastinya membutuhkan banyak dana dan belum tentu akan menghasilkan keuntungan bagi Inggris kemudian hari. Hal tersebut sudah menjadi alasan yang cukup bagi negeri induk untuk menolak proposal pengajuan yang tadi dijelaskan panjang lebar oleh Stirling. Sungguh ironis memang.
Stirling tidak patah arang. Jika memang pemerintah Inggris tidak mau membantu, “ya sudah ga’ papa, bukan rezekinya disana” mungkin begitulah gumam Stirling yang setengah putus asa saat itu. Selanjutnya, Stirling mempromosikan kawasan Swan River secara mandiri. Beberapa pedagang yang cukup kaya di Inggris dipersuasi olehnya. Aksi Stirling menuai hasil. Sebagian dari pedagang tersebut bersedia mengikuti keinginan Stirling tapi dengan syarat bahwa nantinya di koloni Swan River mereka tidak menginginkan penggunaan tenaga narapidana.
Salah seorang saudagar Inggris, Thomas Peel yang saat itu dipandang memiliki status ekonomi tinggi siap menjadi sponsor utama proyek James Stirling. Bahkan Peel sudah mencairkan kurang lebih 50.000 poundsterling (Siboro, 1989:76). Jumlah yang lumayan besar pada abad ke 19.
Harapan Tak Sesuai Realita
Segala kebutuhan untuk berlayar telah siap. Tahun 1829 menjadi sejarah tersendiri bagi James Stirling. Ia didapuk sebagai kapten dalam pelayaran tersebut. Tidak diketahui secara pasti berapa banyak jumlah personil maupun binatang ternak yang diikutkan di dalamnya.
Pertengahan tahun 1829, rombongan kolonis tiba di wilayah yang saat ini dikenal dengan nama Kota Fremantle. Kawasan tersebut memang masih masuk zonasi dari Swan River. Akan tetapi setelah beberapa saat mendirikan pemukiman, James Stirling berinisiatif untuk mengeksplor lebih ke utara lagi. Keinginannya tersebut didasarkan keyakinan bahwa jika meneruskan perjalanan di utara, ia yakin terdapat tempat yang lebih baik lagi. Benar saja sugestinya Stirling, karena tempat dari utara Fremantle tersebut lebih dikenal dengan nama Perth. Di situlah James Stirling dan sebagian rombongan yang masih ikut dengannya mendirikan pemukiman. James Stirling sendiri secara resmi menjabat sebagai letnan-gubernur pertama untuk Koloni Australia Barat selama 1832-1839.
Lukisan Pemukiman Koloni Fremantle sekitar tahun 1839 karya Charles Dirk Wittenoom sumber: www.fremantlewesternaustralia.com.au |
Lukisan yang Menggambarkan Persiapan Pembukaan Koloni Perth yang dipimpin James Stirling sumber: www.nmagov.au |
Harapan membuka koloni baru di Australia Barat yang gemah ripah loh jinawi* ternyata tak seindah dan tak semudah yang dibayangkan. Mulai muncul berbagai problematika pada tahun-tahun awal pengembangannya.
Masalah pertama adalah sedikitnya tanah yang cocok digunakan untuk pertanian dan penggembalaan. Topografi Australia Barat yang sebagian besar merupakan padang gurun ternyata turut mempengaruhi ketersediaan tanah dengan kategori “sangat baik”. Tanah-tanah yang baik hampir semuanya berada di dekat pusat koloni seperti kawasan Fremantle maupun Perth. Tentu saja harga-harga tanah yang berada di dekat pusat kedua kota koloni tersebut harganya terbilang mahal. Hanya mereka yang berkantong tebal saja yang mampu menyewa atau membelinya.
Problem kedua yaitu kelirunya kebijakan yang diterapkan oleh otoritas di Australia Barat dalam sistem pembelian tanah. Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa individu yang memiliki modal besar berhak memilih tanah-tanah yang akan diinvestasikannya. Tentu saja orang-orang semacam Thomas Peel akan mengkapling tanah yang paling subur dan paling dekat dengan pemukiman utama. Sedangkan mereka yang bermodal kecil dan memang nawaitu’ pindah dari Inggris menuju Australia untuk memulai hidup baru dengan menjadi petani maupun peternak harus mau nrimo ing pandum* mendapatkan pembagian “tanah sisa”. Sungguh ironis jika melihat kenyataan uang memiliki peranan utama dalam hal ini.
Ketiga, akibat dari penerapan sistem kepemilikan lahan yang keliru menyebabkan gap pemilik tanah semakin lebar. Ada yang memiliki tanah ratusan hektar dan dekat dengan pusat pemerintahan koloni. Akan tetapi tidak sedikit juga yang “hanya” memiliki tanah sekadarnya dan jauh dari pusat keramaian karena kalah modal. Keadaan seperti ini membuat jarak tempat tinggal antar pemukim Inggris di Australia Barat semakin berjauhan. Tentu saja hal tersebut membahayakan karena ancaman setiap saat bisa terjadi seperti serangan binatang liar dan suku-suku Aborigin yang tidak bersahabat dengan pendatang. Wajar apabila penduduk asli Australia akan mencak-mencak, batin mereka “ elu semua tiba-tiba datang lalu seenak jidat bagi-bagi tanah yang sudah nenek moyang kami tempati ratusan tahun lalu, jangan salahkan kite-kite yang nyerang elu pade ye..”
Lukisan Sekelompok orang Aborigin Menyerang Pemukiman Koloni Inggris Karya James Bonwick sumber: www.researchgate.net |
Keempat, Hampir sebagian besar rombongan yang ikut James Striling dan Thomas Peel yang tiba di Australia Barat salah kaprah dalam menafsirkan terhadap pembukaan koloni disana. Mereka ber-mindset bahwa jika telah membeli tanah di Australia Barat itu artinya ketika nanti sampai disana maka otomatis sudah ada rumah siap huni dan kebun anggur yang juga siap diolah. Oleh sebab itu, banyak dari calon pemukim baru tersebut ketika naik ke kapal mereka menyertakan pula perabotan rumah tangga maupun barang-barang kebutuhan tersier. Eh.. ternyata ketika tiba pada tahun 1829, yang para pemukim salah kaprah ini hadapi adalah tanah kosong. Alhasil, perabotan rumah tangga maupun barang-barang tersier yang dibawa ditinggalkan di pantai begitu saja. Kenyataan memang kadang menyakitkan.
Kelima, problematika yang harus diselesaikan oleh James Striling sebagai orang nomor satu di Australia Barat saat itu adalah terbatasnya tenaga kerja. Seperti yang telah diketahui, pembukaan koloni di Australia Barat disepakati tanpa diiringi pengiriman narapidana sebagai tenaga kerja. Para pemukim Inggris merasa khawatir dan tidak aman ketika banyak para residivis tersebut berbaur dengan potensi mengganggu kehidupan mereka. Sebagai gantinya, tenaga kerja akan dipilih dari kalangan penduduk bebas (free settlers). Tetapi, karena statusnya adalah orang bebas maka tenaga dan jasa mereka juga wajib dihargai dalam bentuk upah (gaji). Hal ini membuat pemerintahan James Striling kelimpungan karena perputaran ekonomi di Australia Barat juga sedang seret pada awal-awal perkembangan. Mungkin akan lain jadinya apabila James Stirling dan rombongannya mau menerima sebagian narapidana sebagai tenaga kerja untuk membangun berbagai infrastruktur di Australia. Tentu saja selain efektif juga bisa menghemat pengeluaran anggaran, kan gratis apabila menggunakan tenaga para kriminal.
Keenam, marak terjadi praktek calo tanah. Nah ini ruwetnya mindset sebagian besar para pemukim di Australia Barat. Jadi kan harapan dan tujuan awal dibukanya koloni buat melindungi Australia dari ancaman pendudukan Perancis. Nah penduduk yang “ditugaskan” menetap disana otomatis diminta untuk produktif dengan menjadi petani dan peternak dengan memanfaatkan tanah yang sudah mereka beli itu. Eh ternyata sebagian besar malah justru memanfaatkan sistem beli tanah dengan cara nanti akan menjual tanahnya kepada gelombang imigran kedua pada tahun berikutnya dengan harga yang lebih mahal agar mendapatkan keuntungan. Job semacam itu terkenal dengan sebutan “spekulan tanah” untuk pemerhalus maknanya. Begitulah pola pikir salah yang semakin membuat pusing letnan-gubernur James Striling melihat kelakukan penduduk koloninya. Hal semacam itu justru menjadi duri dalam daging bagi pekrmebangan koloni Australia Barat.
Ketujuh, terjadinya eksodus besar-besaran penduduk koloni Australia Barat pada tahun 1830-1832. Akibat enam poin masalah diatas yang telah dijabarkan. Hal tersebut bermuara pada satu kesimpulan: kehidupan disana saat itu sangat kacau!. Tanah yang bagus dimiliki oleh orang yang gak mudeng cara mengolahnya dengan baik, ancaman dari suku-suku lokal yang ngambek dan sensitif karena memandang orang-orang Inggris seenaknya mengaku-ngaku tanah mereka, terbatasnya tenaga kerja bebas, dan semakin banyaknya personal yang ikutan join menjadi calo tanah sudah lebih dari cukup untuk membuat jumlah penduduk Australia Barat merosot tajam dari 4000-an jiwa pada tahun 1830 menjadi sekitar 1500 penduduk saja di tahun 1832 (Siboro, 1989:78).
Begitulah tantangan dan masalah yang dihadapi oleh penduduk koloni Australia Barat. Penulis bisa membayangkan betapa susahnya James Stirling mempertahankan sekaligus mengembangkan koloni tersebut agar menjadi lebih baik. Akan tetapi badai pasti berlalu, begitulah petikan istilah yang nantinya akan mengubah wajah Australia Barat lambat laun menjadi lebih baik.
Ketabahan Berbuah Manis
Memasuki tahun 1840, Australia Barat mencoba bangkit dibawah pemerintahan gubernur John Hutt (1839-1846). Ancaman Perancis di awal-awal ternyata hanya segitu saja gertak sambalnya, bukan masalah besar lagi Justru yang menjadi masalah ya dari dalam sendiri. Ya penduduknya, yaa sistem kebijakannya yang harus dibenahi. Pelan tapi pasti, Australia Barat menemukan ritme untuk “hidup” lagi. Hal ini dibuktikan dengan melimpahnya jumlah ternak biri-biri (sejenis domba) kurang lebih 30 ribu ekor. Jumlah ternak berkali-kali lipat melebihi penduduknya (tahun 1840 berjumlah 2350 jiwa). Jika seperti itu, berarti usaha peternakan di Australia Barat berjalan lancar.
Potret Charles Fitzgerald, Gubernur Australia Barat yang kebijakannya Anti Mainstream sumber: en.wikipedia.org/wiki Charles_Fitzgerald |
Perkembangan Australia Barat kembali mengalami hambatan pada tahun 1842 dikarenakan kebijakan pemerintah Kerajaan Inggris yang mengeluarkan undang-undang baru terhadap penjualan tanah-tanah koloni kepada penduduknya (Siboro, 1989:78). Inti dari kebijakan tersebut yaitu tanah-tanah di Australia tidak akan dijual murah lagi. Berlaku untuk seluruh koloni, termasuk Australia Barat. Jelas aturan tersebut paling merugikan Australia Barat yang notabene paling rendah kualitas kesuburannya akan tetapi harganya sama mahalnya dengan koloni lain seperti New South Wales dan Australia Selatan yang lahannya lebih subur.
Gubernur keempat Australia Barat, Charles Fitzgerald (menjabat 1848-1855), seorang yang kebijakannya sangat nyentrik dan anti-mainstream. Melawan pandangan umum masyarakat koloni saat itu. Fitzgerald melihat masalah utama di Australia Barat adalah kekurangan tenaga kerja untuk membangun insfrastruktur. OIeh karenanya, ia mengusulkan agar narapidana yang akan dikirim dari Inggris dimasukkan saja ke koloni Australia Barat.
Meskipun usulan Fitzgerald terdengar gila dan diprotes bagi penduduk koloni, tapi ia tetap tidak bergeming. Proker (Program Kerja) penggunaan narapidana sebagai tenaga kerja tetap dilakukannya. Akan tetapi, ada klausul yang mengharuskan pengiriman narapidana tetap diimbangi dengan adanya penduduk biasa dalam rombongan tersebut (Siboro, 1989:79). Rasio-nya 2:1 agar terjadi keseimbangan. Pemerintah Inggris mengabulkan permohonan Fitzgerald. Setiap tahun, mulai tahun 1850 kuota sebanyak 1200 calon imigran disediakan dengan rincian 900 kuota untuk narapidana dan 300 bagi penduduk bebas. Kebijakan tersebut bertahan hingga 18 tahun lamanya (1850-1868).
Penggunaan tenaga narapidana ternyata berjalan baik. Adanya kontrol dan pengawasan ketat adalah kuncinya. Charles Fitzgerald sukses mengubah labelling narapidana dari sampah masyarakat menjadi pupuk koloni. Pembangunan jembatan, gedung, sekolah, dan pembuatan jalan berjalan baik sepanjang 1850-1868 bahkan ketika jabatan gubernur berganti di tangan Sir Arthur Kennedy hingga John Hampton.
Selain para gubernur yang memperhatikan perkembangan koloni yang dipimpinnya, peran penjelajah sekaligus petualang juga tak bisa dianggap remeh. Nama-nama seperti Ernest Giles, John Forrest dan Edward John Eyre berkontribusi besar dalam membuka tabir alam Australia Barat lebih jauh. Melalui survei dan perjalanan mereka inilah secara tidak langsung teritori koloni Australia Barat meluas.
Paruh kedua abad ke 19, sepanjang tahun 1871-1877 Australia Barat sudah semakin maju dan menipiskan sekat isolasinya dengan koloni di wilayah lain. Pembuatan rel kereta api dan juga adanya penyambungan koneksi telegraf (alat komunikasi sebelum adanya telepon) menjadi pemicunya. Adanya dua hal tersebut semakin memudahkan perkembangan koloni itu sendiri.
Lukisan Aktifitas Gold Rush di Australia, sudah mulai kelihatan berorientasi materi..dasar manusia sumber: australia55586.weebly.com |
Perkembangan Australia Barat semakin menjadi ketika ditemukannya tambang emas di kawasan yang sekarang menjadi kota Coolgardie (1892) dan Kalgoorlie (1893). Otomatis demam gold rush semakin membuat banyak individu baik dari wilayah Australia sendiri maupun Inggris berbondong-bondong menetap disana. Setiap tahun Australia Barat semakin mensejajarkan dirinya menjadi koloni yang lebih baik seperti wilayah lainnya.
Perth, saat ini menjadi kota terbesar dan tersibuk di seluruh Australia Barat sumber: architecture.desktopnexus.com |
Kota Bunbury, Runner-up di Australia Barat sebagai kota paling padat setelah Perth sumber: www.barrandstandley.com.au |
Geraldton, Kota terbesar ketiga di Australia Barat yang namanya diambil untuk menghormati Gubernur Charles Fitzgerald yang terkenal nyentrik itu sumber: www.cgg.wa.gov.au |
Saat ini, kota-kota besar seperti Perth, Bunbury dan Geraldton menjadi nadi utama penggerak negara bagian Australia Barat. Sedangkan kota kecil semacam Karratha, Narrogin, dan Dampier hidup dengan keunikannya sendiri-sendiri. Melalui tangan-tangan gigih yang dengan sabar mengolah dan memanajemen meskipun banyak hambatan, kawasan yang sebagian besar terdiri dari padang pasir tersebut sekarang menjadi salah satu destinasi penting di negeri Kangguru.
Baihaqi Aditya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar