Kamis, 31 Mei 2018

KERAJAAN KUTAI MARTADIPURA, PELOPOR MUNCULNYA BERBAGAI KERAJAAN BERCORAK HINDU-BUDDHA DI BUMI NUSANTARA


Ilustrasi Lembuswana, binatang mitologi dari Kerajaan Kutai Martadipura. Terlihat hampir mirip dengan Griffon, binatang mitologi yang berasal dari Eropa. Cuma yang ini memiliki belalai kayak gajah
Sumber foto: Kaltim-pos.prokal.com

Pulau Kalimantan merupakan pulau yang memiliki pengaruh besar bagi perkembangan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saat ini, Kalimantan, atau lebih dikenal dengan nama  Borneo Island sebagai nama internasionalnya merupakan pulau yang merupakan paru-paru dunia. Tidak hanya kaya akan hasil hutan, Kalimantan juga merupakan pusat kegiatan perekonomian yang menyumbangkan devisa besar bagi Negara Indonesia. Pertambangan dan perkebunan sawit menjadi ciri khas pulau yang terkenal sebagai habitat asli orangutan tersebut.

Namun, tahukah para pembaca, jauh sebelum abad milenial, pulau Kalimantan telah memberikan sumbangsih besar bagi peradaban bangsa Indonesia. Hal tersebut terjadi karena untuk pertama kalinya, masyarakat kuno Nusantara mampu mempelajari tulisan dan membangun peradaban yang lebih maju berlandaskan kebudayaan India saat itu. Kerajaan yang telah berjasa besar mengantarkan para pendahulu untuk mengenal, mengadopsi, dan menggunakan tulisan untuk pertama kali serta mengatur masyarakatnya agar hidup lebih baik adalah Kutai.

Kerajaan Kutai

Sungai Mahakam  diyakini sebagai salah satu lingkungan penting dari kerajaan Kutai. Sungainya yang besar, dalam, dan memiliki banyak anak sungai semakin memudahkan masyarakat Kutai kuno dalam beraktivitas. 
N.b : penulis yakin pada masa lampau air sungai Mahakam jernih, tidak seperti di foto yang sudah seperti cappucino
Sumber foto: www.antarfoto.com

First kingdom in Nusantara . Ya..kerajaan bercorak Hindu pertama yang muncul di Indonesia pada masa lampau adalah Kutai. Berkat adanya kerajaan Kutai yang berdiri sekitar abad ke-5 Masehi, masyarakat lokal Nusantara yang awalnya hidup dalam kesukuan sederhana perlahan-lahan bertransformasi membentuk sistem kerajaan terstruktur berlandaskan kebudayaan Hindu seperti di India.

a. Sumber Kerajaan
Bukti eksistensi kerajaan Kutai dijelaskan dalam beberapa sumber batu prasasti yaitu Yupa yang ditemukan di wilayah Kalimantan Timur. Jumlah Yupa sejauh ini ada tujuh buah. Ketujuh prasasti tersebut dipahat dalam huruf pallawa dan bahasa sansekerta. Huruf pallawa dan bahasa sansekerta saat itu digunakan oleh masyarakat India bagian selatan (Hapsari, Ratna. 2008:11). Melalui prasasti-prasasti itulah, kita bisa mengetahui keberadaan kerajaan Kutai dan kehidupan masyarakatnya meskipun masih terbatas. Hal tersebut dikarenakan sumber valid tentang kerajaan yang berlokasi di sekitar hulu sungai Mahakam itu jumlahnya tidak terlalu banyak.

Salah satu Yupa yang mengisahkan kehebatan sang raja Sri Mulawarman. Mengukirnya pake huruf pallawa, bahasanya sansekerta. Hanya orang-orang khusus yang mampu men-translate-kan huruf-huruf kuno tersebut ke dalam bahasa Indonesia
sumber: Id.wikipedia.org/wiki/berkas.prasasti-yupa02

Meskipun jumlah Yupa yang ditemukan masih terbatas hingga saat ini, akan tetapi untuk mengetahui kandungan isi yang terukir di dalamnya sangat menarik untuk karena menyangkut berbagai kebijakan para raja yang memerintah kerajaan Kutai. Berikut garis besar isi dari Yupa:

i. Silsilah para raja kerajaan Kutai
Salah satu yupa menjelaskan bahwa penguasa pertama dari Kutai adalah Kudungga yang kemudian dilanjutkan oleh putranya bernama Aswawarman dan puncaknya ketika diperintah oleh raja Mulawarman. Hal tersebut menarik karena raja pertama Kutai yaitu Kudungga masih menggunakan nama lokal, belum mengadopsi penggunaan nama seperti kerajaan-kerajaan Hindu di India. Setelah digantikan oleh Aswawarman dan Mulawarman (keduanya sudah memakai nama yang berbau Hindu), Kutai telah bertransformasi menggunakan ciri khas India. dan hal tersebut otomatis membuatnya menjadi kerajaan bercorak Hindu pertama di Nusantara.
Adapun bunyi teks yang menjelaskan silsilah kekuasaan tersebut seperti berikut:

Sang Maharaja Kudungga, yang amat mulia, mempunyai putera yang manshur, Sang Aswawarman namanya, yang kegagahannya seperti dewa Matahari Ansuman. menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aswawarman memiliki tiga putera seperti api suci. Yang terkemuka dari ketiga putera itu adalah Sang Mulawarman, raja yang berperadaban baik, kuat, dan berkuasa. Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri (selamatan) berupa emas yang amat banyak. Oleh karena untuk memperingati kenduri itulah tugu batu ini didirikan oleh para brahmana .” (Poerbatjaraka, 1952:9).

ii. Kehebatan raja Aswawarman dan upacara Asmawedha
Dari prasasti Yupa, kita bisa mengetahui bahwa raja Aswawarman merupakan penguasa kedua dari kerajaan Kutai. Salah satu kebijakan pentingnya sehingga diabadikan dalam sejarah adalah upacara Asmawedha, yaitu raja mengorbankan kuda untuk memperluas wilayah kerajaan seluas-luasnya.

Cara kerjanya yaitu sang raja memilih kuda terbaiknya, lalu kuda tersebut dilepaskan ke alam liar dan dikawal oleh para ksatria terbaik raja. Selama satu tahun, kuda pilihan raja itu dibiarkan bebas berkeliaran. Apabila kuda berhenti di wilayah suku lain, maka otomatis atas nama sang raja Aswawarman, segerombolan ksatria-ksatria terbaiknya akan menaklukkan daerah tersebut. Setelah satu tahun, kuda itu dibawa kembali ke ibukota dan dikorbankan kepada dewa Siwa. Jadi, sejauh kuda itu berkeliaran selama setahun, disitulah luas wilayah kerajaan Kutai ditetapkan (wacana.co, diakses pada 10 April 2018).

iii. Kebijaksanaan dan Kemashyuran raja Mulawarman
Raja Mulawarman merupakan raja yang namanya paling banyak disebutkan dalam Yupa. Adapun inskripsi Yupa yang mencatut nama sang raja sebagai berikut:

“Dengarkanlah oleh kamu wahai sekalian, brahmana yang terkemuka, dan sekalian orang baik lain-lainnya, tentang kebaikan budi Sang Mulawarman, raja besar yang sangat mulia. Kebaikan budi ini ialah berwujud sedekah banyak sekali, seolah-olah sedekah kehidupan atau semata-mata pohon Kalpa dengan sedekah tanah yang dihadiahkan. Berhubung dengan segala kebaikan itulah maka tugu ini didirikan oleh para brahmana.” (Poerbatjaraka, 1952:10).

Sementara yupa yang lain mengabadikan kebaikan Mulawarman sebagai berikut:

“Sang Mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka, telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana yang seperti api. Bertempat di dalam tanah yang sangat suci bernama Vaprakecwara. Buat peringatan akan kebaikan budi sang raja, tugu ini didirikan oleh para Brahmana yang datang di tempat ini.” (Poerbatjaraka, 1952:11).

Dari kedua prasasti yang menyebutkan nama raja Mulawarman, bisa diartikan bahwa sang raja sangat dekat dengan para pemuka agama Hindu. Hal ini membuat para brahmana menaruh respek dan hormat kepada raja Mulawarman dengan cara mengenang segala kebaikannya dalam bentuk prasasti Yupa agar selalu diketahui generasi-generasi selanjutnya.

b. Letak dan Wilayah Kekuasaan
Seperti yang dijelaskan dalam prolog di awal tulisan, bahwa diperkirakan letak kerajaan Kutai berada disekitar sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Hal ini diperkuat dengan pola kehidupan manusia sejak zaman praaksara sampai mengenal tulisan yang membangun peradaban tidak jauh dari sumber air yaitu sungai.

Wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai Martadipura. Terlihat sebagian wilayahnya berada di dekat sungai.
Sumber: Inklusix.blogspot.com

Sungai Mahakam sendiri merupakan media untuk melakukan kegiatan perdagangan dan masuknya para brahmana dari India untuk mengajarkan dan menyebarkan ajaran Hindu. Selain itu, pada awal abad ke-4 sampai ke-5 masehi sungai Mahakam merupakan salah satu jalur alternatif bagi pedagang-pedagang Tionghoa dari dinasti Tang datang untuk bertransaksi dagang dengan penduduk lokal.

Wilayah kekuasaan kerajaan Kutai sendiri diyakini kuat meliputi seluruh daerah yang dilalui oleh sungai Mahakam,. Apalagi adanya ritual Asmawedha, besar kemungkinan wilayahnya hampir seluruh wilayah Kutai (barat, timur, dan kartanegara), Tenggarong, dan Pemarangan yang masuk ke dalam provinsi Kalimantan Timur saat ini.

c. Kehidupan di Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai didirikan oleh Kudungga sebagai raja pertamanya. Terdapat hal menarik dari sosok Kudungga yang sedikit disinggung pada prasasti Yupa. Pertama, Kudungga merupakan orang Nusantara pertama kali yang mau menerima pengaruh Hindu dari India. Coba bayangkan, jika saja Kudungga tidak mau menerima pengaruh Hindu, besar kemungkinan peradaban di Nusantara akan stagnan pada taraf hidup masa praaksara yang tidak mengenal tulisan dan tidak mengenal sistem kerajaan.

Kedua, meskipun menjabat sebagai raja Kutai pertama, nama “Kudungga” masih bernuansa lokal, belum ada ciri khas nama-nama berbau India. Hal ini mengindikasikan meskipun sudah memeluk ajaran Hindu, raja Kudungga masih berpegang teguh kepada kearifan lokal nenek moyang (animisme, dinamisme, maupun totemisme). Nama-nama berbau India baru muncul saat kekuasaan kerajaan Kutai dilanjutkan keturunannya. Bagi penulis pribadi, sosok Kudungga adalah “hidden hero”.

Setelah raja Kudungga wafat, kekuasaan diteruskan oleh putranya yang bernama Aswawarman. Pengganti Kudungga tersebut sudah memakai nama-nama yang lazim digunakan para penguasa di India. Raja Aswawarman terkenal karena mampu meluaskan wilayah kerajaan Kutai melalui upacara Asmawedha. Setelah Aswawarman tidak memerintah lagi, kedudukannya digantikan oleh raja Mulawarman, penguasa paling terkenal dalam sejarah kerajaan Kutai.

Pertanyaan dasar tapi penting adalah : “ Bagaimana bisa Kudungga, Aswawarman, dan Mulawarman yang bukan orang India asli dapat masuk Hindu? Kalau memang bisa, bagaimana caranya dan apa golongan kastanya ?

Raja-raja Kutai dapat memeluk Hindu dan otomatis berkasta ksatria setelah mengikuti serangkaian ritual yang bernama Vratyastoma. Ritual tersebut digunakan untuk menerima orang di luar kasta agar dapat diterima sebagai bagian dari masyarakat Hindu yang memuja dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa dengan memperhatikan kedudukan awal seseorang sebelum masuk Hindu (Poesponegoro, 1993:35).

Melalui upacara vratyastoma yang dipimpin oleh kaum brahma dari India, Kudungga dan keturunannya dapat menjadi golongan ksatria dan resmi posisinya dari kepala suku menjadi raja kerajaan bercorak Hindu pertama di Nusantara. Sementara masyarakatnya sebagian juga sudah masuk Hindu (bagi yang berkompeten dengan menempuh pendidikan pendeta Hindu di India otomatis ia akan masuk ke dalam kasta brahma) dan masih banyak yang memeluk ajaran leluhur seperti animisme dan dinamisme. Hal ini tidak mengherankan karena pengaruh Hindu belum ekspansif dan cenderung bergerak lamban tapi pasti.

Ilustrasi iring-iringan raja Mulawarman yang dipanggul para pengabdinya, sementara sang raja enak leyeh-leyeh di atas singgasana.
Sumber: Kutaihulu.blogspot.com

Kehidupan masyarakat Kutai dapat dikatakan beragam. Meskipun dari ketujuh yupa tidak menyebutkan bagaimana keadaan masyarakatnya, tapi dapat disimpulkan bahwa sebagian masyarakat Kutai merupakan golongan brahmana lokal yang menguasai bahasa sansekerta. Sedangkan mayoritas masyarakat yang lain diprediksi kuat menggantungkan hidup dari pertanian, kegiatan perdagangan, dan perburuan binatang. Hal ini sesuai dengan keadaan wilayah kekuasaan Kutai yang sebagian besar masih berupa hutan dan dekat dengan sungai. Selain itu, kemungkinan besar masyarakat Kutai juga berprofesi sebagai peternak sapi mengingat raja Mulawarman pernah menyedekahkan puluhan ribu sapi kepada para brahmana.

Masyarakat Kutai sangat menghormati raja Mulawarman. Hal ini terbukti dari sebagian besar prasasti yupa, semua mencatatkan kebaikan hati Mulawarman. Seperti kebijakannya yang menghibahkan 20.000 sapi kepada kaum brahmana. Selain itu, Mulawarman adalah sosok agamis dengan memuja dewa Siwa. Pemujaan dewa Siwa dibuktikan dengan didirikannya suatu tempat suci yang bernama Vaprakecwara. Kelak dalam perkembangannya, vaprakecwara versi kerajaan-kerajaan Hindu besar di pulau Jawa sangat identik dengan pura maupun candi sebagai tempat memuja dewa-dewa Hindu maupun pendharmaan para raja.

Sosok raja Mulawarman sangat dekat dengan kaum Brahmana. Terbukti di setiap yupa yang dibuat menyebut nama Mulawarman, para pendirinya adalah kaum brahmana sebagai rasa terima kasih terhadap kebaikan sang raja kepada mereka (Poesponegoro, 1993:37).

d. Warisan
Meskipun tidak meninggalkan bangunan besar seperti candi Borobudur atau kitab-kitab legendaris layaknya Negarakertagama, akan tetapi kerajaan Kutai memiliki tujuh buah yupa yang menyimpan informasi berharga bagi perkembangan masyarakat Nusantara pada masa klasik. Yupa-yupa tersebut dapat diidentifikasikan sebagai pelopor munculnya kebudayaan menulis dan mencatat dalam peradaban masyarakat Nusantara kuno. Kelak, pola penulisan seperti yupa akan diteruskan oleh kerajaan-kerajaan bercorak Hindu lainnya di Nusantara.

Selain tujuh buah Yupa, warisan dari Kerajaan kutai adalah adanya figur binatang mitologi yang bernama Lembuswana. Binatang mitologi tersebut dipercaya merupakan kendaraan Bathara Guru dan memiliki semboyan Tapak Leman Ganggayaksa. Saat ini, patung Lembuswana tersebar luas di wilayah Kalimantan Timur sebagai binatang mitologi kebanggaan masyarakat Kutai.

Secara fisik, Lembuswana dicirikan memiliki kepala yang identik dengan singa, memakai mahkota guna melambangkan keperkasaan seorang raja, berbelalai gajah ibarat Ganesha sebagai salah satu dewa Hindu yang melambangkan kecerdasan, dan bersayap garuda( id.wikipedia.org/wiki/Lembuswana : diakses 31 Mei 2018 pukul 08.50 WIB).

Kesimpulan
Kutai merupakan kerajaan Hindu pertama di Nusantara. Bukti keberadannya tertuang dalam tujuh buah yupa. Raja yang terkenal adalah Mulawarman. Belajar mengenai kerajaan Kutai dapat mengetahui bahwa kerajaan yang terletak di tepi sungai Mahakam tersebut merupakan pionir munculnya berbagai kerajaan-kerajaan besar Hindu lainnya di Nusantara pada masa-masa berikutnya.

 
Sumber:
1. Djoened, Marwati Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II.          Jakarta: Balai Pustaka.
2. Hapsari, Ratna. Abdul Syukur. 2008. Eksplorasi Sejarah Indonesia dan Dunia. Jakarta: Erlangga.
3. Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1953. Riwayat Indonesia I. Jakarta: Yayasan Pembangunan.
4. www.wacana.co.id diakses pada 10 April 2018 pukul 20.00 WIB.
5. id.wikipedia.org/wiki/Lembuswana : diakses 31 Mei 2018 pukul 08.50 WIB.


Oleh:
Baihaqi Aditya, S,Pd.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar