Ilustrasi Lembuswana, binatang mitologi dari Kerajaan Kutai Martadipura. Terlihat hampir mirip dengan Griffon, binatang mitologi yang berasal dari Eropa. Cuma yang ini memiliki belalai kayak gajah
Sumber foto: Kaltim-pos.prokal.com
Pulau Kalimantan merupakan pulau yang memiliki pengaruh besar bagi
perkembangan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saat ini, Kalimantan, atau
lebih dikenal dengan nama Borneo Island sebagai nama internasionalnya merupakan pulau yang merupakan paru-paru dunia. Tidak hanya kaya akan hasil
hutan, Kalimantan juga merupakan pusat kegiatan perekonomian yang
menyumbangkan devisa besar bagi Negara Indonesia. Pertambangan dan
perkebunan sawit menjadi ciri khas pulau yang terkenal sebagai habitat asli
orangutan tersebut.
Namun, tahukah para pembaca, jauh sebelum abad milenial, pulau Kalimantan
telah memberikan sumbangsih besar bagi peradaban bangsa Indonesia. Hal
tersebut terjadi karena untuk pertama kalinya, masyarakat kuno Nusantara mampu mempelajari tulisan dan membangun peradaban yang lebih maju berlandaskan kebudayaan India saat itu. Kerajaan yang telah berjasa besar
mengantarkan para pendahulu untuk mengenal, mengadopsi, dan menggunakan tulisan untuk pertama kali serta mengatur
masyarakatnya agar hidup lebih baik adalah Kutai.
Kerajaan Kutai
Sungai Mahakam diyakini sebagai salah satu lingkungan penting dari kerajaan Kutai. Sungainya yang besar, dalam, dan memiliki banyak anak sungai semakin memudahkan masyarakat Kutai kuno dalam beraktivitas.
N.b : penulis yakin pada masa lampau air sungai Mahakam jernih, tidak seperti di foto yang sudah seperti cappucino
N.b : penulis yakin pada masa lampau air sungai Mahakam jernih, tidak seperti di foto yang sudah seperti cappucino
Sumber foto: www.antarfoto.com
First kingdom in Nusantara
. Ya..kerajaan bercorak Hindu pertama yang muncul di Indonesia pada masa
lampau adalah Kutai. Berkat adanya kerajaan Kutai yang berdiri
sekitar abad ke-5 Masehi, masyarakat lokal Nusantara yang awalnya hidup
dalam kesukuan sederhana perlahan-lahan bertransformasi membentuk sistem
kerajaan terstruktur berlandaskan kebudayaan Hindu seperti di India.
a.
Sumber Kerajaan
Bukti eksistensi kerajaan Kutai dijelaskan dalam beberapa sumber batu
prasasti yaitu Yupa yang ditemukan di wilayah Kalimantan Timur. Jumlah Yupa
sejauh ini ada tujuh buah. Ketujuh prasasti tersebut dipahat dalam huruf
pallawa dan bahasa sansekerta. Huruf pallawa dan bahasa sansekerta saat itu
digunakan oleh masyarakat India bagian selatan (Hapsari, Ratna. 2008:11).
Melalui prasasti-prasasti itulah, kita bisa mengetahui keberadaan kerajaan
Kutai dan kehidupan masyarakatnya meskipun masih terbatas. Hal tersebut
dikarenakan sumber valid tentang kerajaan yang berlokasi di sekitar hulu sungai
Mahakam itu jumlahnya tidak terlalu banyak.
Salah satu Yupa yang mengisahkan kehebatan sang raja Sri Mulawarman. Mengukirnya pake huruf pallawa, bahasanya sansekerta. Hanya orang-orang khusus yang mampu men-translate-kan huruf-huruf kuno tersebut ke dalam bahasa Indonesia
sumber: Id.wikipedia.org/wiki/berkas.prasasti-yupa02
Meskipun jumlah Yupa yang ditemukan masih terbatas hingga saat ini, akan tetapi untuk mengetahui kandungan isi yang terukir di dalamnya sangat menarik untuk karena
menyangkut berbagai kebijakan para raja yang memerintah kerajaan Kutai. Berikut
garis besar isi dari Yupa:
i. Silsilah para raja kerajaan Kutai
Salah satu yupa menjelaskan bahwa penguasa pertama dari Kutai adalah
Kudungga yang kemudian dilanjutkan oleh putranya bernama Aswawarman dan
puncaknya ketika diperintah oleh raja Mulawarman. Hal tersebut menarik
karena raja pertama Kutai yaitu Kudungga masih menggunakan nama lokal,
belum mengadopsi penggunaan nama seperti kerajaan-kerajaan Hindu di India.
Setelah digantikan oleh Aswawarman dan Mulawarman (keduanya sudah memakai
nama yang berbau Hindu), Kutai telah bertransformasi menggunakan ciri khas
India. dan hal tersebut otomatis membuatnya menjadi kerajaan bercorak Hindu
pertama di Nusantara.
Adapun bunyi teks yang menjelaskan silsilah kekuasaan tersebut seperti
berikut:
“
Sang Maharaja Kudungga, yang amat mulia, mempunyai putera yang manshur,
Sang Aswawarman namanya, yang kegagahannya seperti dewa Matahari
Ansuman. menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aswawarman
memiliki tiga putera seperti api suci. Yang terkemuka dari ketiga
putera itu adalah Sang Mulawarman, raja yang berperadaban baik, kuat,
dan berkuasa. Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri (selamatan)
berupa emas yang amat banyak. Oleh karena untuk memperingati kenduri
itulah tugu batu ini didirikan oleh para brahmana
.” (Poerbatjaraka, 1952:9).
ii. Kehebatan raja Aswawarman dan upacara Asmawedha
Dari prasasti Yupa, kita bisa mengetahui bahwa raja Aswawarman merupakan
penguasa kedua dari kerajaan Kutai. Salah satu kebijakan pentingnya
sehingga diabadikan dalam sejarah adalah upacara Asmawedha, yaitu raja
mengorbankan kuda untuk memperluas wilayah kerajaan seluas-luasnya.
Cara kerjanya yaitu sang raja memilih kuda terbaiknya, lalu kuda tersebut dilepaskan ke alam liar dan dikawal oleh para ksatria terbaik raja. Selama
satu tahun, kuda pilihan raja itu dibiarkan bebas berkeliaran. Apabila kuda berhenti di
wilayah suku lain, maka otomatis atas nama sang raja Aswawarman, segerombolan ksatria-ksatria terbaiknya akan menaklukkan daerah
tersebut. Setelah satu tahun, kuda itu dibawa kembali ke ibukota dan
dikorbankan kepada dewa Siwa. Jadi, sejauh kuda itu berkeliaran selama
setahun, disitulah luas wilayah kerajaan Kutai ditetapkan (wacana.co,
diakses pada 10 April 2018).
iii. Kebijaksanaan dan Kemashyuran raja Mulawarman
Raja Mulawarman merupakan raja yang namanya paling banyak disebutkan dalam Yupa. Adapun inskripsi Yupa yang mencatut nama sang raja sebagai berikut:
“Dengarkanlah oleh kamu wahai sekalian, brahmana yang terkemuka, dan
sekalian orang baik lain-lainnya, tentang kebaikan budi Sang
Mulawarman, raja besar yang sangat mulia. Kebaikan budi ini ialah
berwujud sedekah banyak sekali, seolah-olah sedekah kehidupan atau
semata-mata pohon Kalpa dengan sedekah tanah yang dihadiahkan.
Berhubung dengan segala kebaikan itulah maka tugu ini didirikan oleh
para brahmana.”
(Poerbatjaraka, 1952:10).
Sementara yupa yang lain mengabadikan kebaikan Mulawarman sebagai berikut:
“Sang Mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka, telah memberi sedekah
20.000 ekor sapi kepada para Brahmana yang seperti api. Bertempat di
dalam tanah yang sangat suci bernama Vaprakecwara. Buat peringatan akan
kebaikan budi sang raja, tugu ini didirikan oleh para Brahmana yang
datang di tempat ini.”
(Poerbatjaraka, 1952:11).
Dari kedua prasasti yang menyebutkan nama raja Mulawarman, bisa diartikan
bahwa sang raja sangat dekat dengan para pemuka agama Hindu. Hal ini
membuat para brahmana menaruh respek dan hormat kepada raja Mulawarman
dengan cara mengenang segala kebaikannya dalam bentuk prasasti Yupa agar
selalu diketahui generasi-generasi selanjutnya.
b.
Letak dan Wilayah Kekuasaan
Seperti yang dijelaskan dalam prolog di awal tulisan, bahwa diperkirakan
letak kerajaan Kutai berada disekitar sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Hal
ini diperkuat dengan pola kehidupan manusia sejak zaman praaksara sampai
mengenal tulisan yang membangun peradaban tidak jauh dari sumber air yaitu
sungai.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai Martadipura. Terlihat sebagian wilayahnya berada di dekat sungai.
Sumber: Inklusix.blogspot.com
Sungai Mahakam sendiri merupakan media untuk melakukan kegiatan perdagangan
dan masuknya para brahmana dari India untuk mengajarkan dan menyebarkan
ajaran Hindu. Selain itu, pada awal abad ke-4 sampai ke-5 masehi sungai
Mahakam merupakan salah satu jalur alternatif bagi pedagang-pedagang
Tionghoa dari dinasti Tang datang untuk bertransaksi dagang dengan penduduk
lokal.
Wilayah kekuasaan kerajaan Kutai sendiri diyakini kuat meliputi seluruh
daerah yang dilalui oleh sungai Mahakam,. Apalagi adanya ritual Asmawedha, besar kemungkinan wilayahnya hampir seluruh wilayah
Kutai (barat, timur, dan kartanegara), Tenggarong, dan Pemarangan yang
masuk ke dalam provinsi Kalimantan Timur saat ini.
c.
Kehidupan di Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai didirikan oleh Kudungga sebagai raja
pertamanya. Terdapat hal menarik dari sosok Kudungga yang sedikit disinggung
pada prasasti Yupa. Pertama, Kudungga merupakan orang Nusantara
pertama kali yang mau menerima pengaruh Hindu dari India. Coba bayangkan, jika saja Kudungga tidak mau menerima pengaruh Hindu, besar
kemungkinan peradaban di Nusantara akan stagnan pada taraf hidup
masa praaksara yang tidak mengenal tulisan dan tidak mengenal sistem
kerajaan.
Kedua, meskipun menjabat sebagai raja Kutai pertama, nama “Kudungga” masih bernuansa lokal, belum ada ciri khas nama-nama berbau India. Hal ini mengindikasikan meskipun sudah memeluk ajaran Hindu, raja Kudungga masih berpegang teguh kepada kearifan lokal nenek moyang (animisme, dinamisme, maupun totemisme). Nama-nama berbau India baru muncul saat kekuasaan kerajaan Kutai dilanjutkan keturunannya. Bagi penulis pribadi, sosok Kudungga adalah “hidden hero”.
Kedua, meskipun menjabat sebagai raja Kutai pertama, nama “Kudungga” masih bernuansa lokal, belum ada ciri khas nama-nama berbau India. Hal ini mengindikasikan meskipun sudah memeluk ajaran Hindu, raja Kudungga masih berpegang teguh kepada kearifan lokal nenek moyang (animisme, dinamisme, maupun totemisme). Nama-nama berbau India baru muncul saat kekuasaan kerajaan Kutai dilanjutkan keturunannya. Bagi penulis pribadi, sosok Kudungga adalah “hidden hero”.
Setelah raja Kudungga wafat, kekuasaan diteruskan oleh putranya yang
bernama Aswawarman. Pengganti Kudungga tersebut sudah memakai nama-nama
yang lazim digunakan para penguasa di India. Raja Aswawarman terkenal
karena mampu meluaskan wilayah kerajaan Kutai melalui upacara Asmawedha. Setelah Aswawarman tidak memerintah lagi, kedudukannya
digantikan oleh raja Mulawarman, penguasa paling terkenal dalam sejarah
kerajaan Kutai.
Pertanyaan dasar tapi penting adalah : “
Bagaimana bisa Kudungga, Aswawarman, dan Mulawarman yang bukan
orang India asli dapat masuk Hindu? Kalau memang bisa, bagaimana
caranya dan apa golongan kastanya
?
”
Raja-raja Kutai dapat memeluk Hindu dan otomatis berkasta ksatria setelah
mengikuti serangkaian ritual yang bernama Vratyastoma. Ritual
tersebut digunakan untuk menerima orang di luar kasta agar dapat diterima sebagai bagian dari masyarakat Hindu yang memuja dewa Brahma,
Wisnu, dan Siwa dengan memperhatikan kedudukan awal seseorang sebelum masuk
Hindu (Poesponegoro, 1993:35).
Melalui upacara vratyastoma yang dipimpin oleh kaum brahma dari
India, Kudungga dan keturunannya dapat menjadi golongan ksatria dan resmi
posisinya dari kepala suku menjadi raja kerajaan bercorak Hindu pertama di
Nusantara. Sementara masyarakatnya sebagian juga sudah masuk Hindu (bagi
yang berkompeten dengan menempuh pendidikan pendeta Hindu di India otomatis
ia akan masuk ke dalam kasta brahma) dan masih banyak yang memeluk ajaran
leluhur seperti animisme dan dinamisme. Hal ini tidak mengherankan karena
pengaruh Hindu belum ekspansif dan cenderung bergerak lamban tapi pasti.
Ilustrasi iring-iringan raja Mulawarman yang dipanggul para pengabdinya, sementara sang raja enak leyeh-leyeh di atas singgasana.
Sumber: Kutaihulu.blogspot.com
Kehidupan masyarakat Kutai dapat dikatakan beragam. Meskipun dari ketujuh
yupa tidak menyebutkan bagaimana keadaan masyarakatnya, tapi dapat
disimpulkan bahwa sebagian masyarakat Kutai merupakan golongan brahmana
lokal yang menguasai bahasa sansekerta. Sedangkan mayoritas masyarakat yang
lain diprediksi kuat menggantungkan hidup dari pertanian, kegiatan
perdagangan, dan perburuan binatang. Hal ini sesuai dengan keadaan wilayah
kekuasaan Kutai yang sebagian besar masih berupa hutan dan dekat dengan
sungai. Selain itu, kemungkinan besar masyarakat Kutai juga berprofesi
sebagai peternak sapi mengingat raja Mulawarman pernah menyedekahkan
puluhan ribu sapi kepada para brahmana.
Masyarakat Kutai sangat menghormati raja Mulawarman. Hal ini terbukti dari
sebagian besar prasasti yupa, semua mencatatkan kebaikan hati Mulawarman.
Seperti kebijakannya yang menghibahkan 20.000 sapi kepada kaum brahmana.
Selain itu, Mulawarman adalah sosok agamis dengan memuja dewa Siwa.
Pemujaan dewa Siwa dibuktikan dengan didirikannya suatu tempat suci yang
bernama Vaprakecwara. Kelak dalam perkembangannya, vaprakecwara versi kerajaan-kerajaan Hindu besar di pulau Jawa sangat
identik dengan pura maupun candi sebagai tempat memuja dewa-dewa Hindu
maupun pendharmaan para raja.
Sosok raja Mulawarman sangat dekat dengan kaum Brahmana. Terbukti di setiap
yupa yang dibuat menyebut nama Mulawarman, para pendirinya adalah kaum
brahmana sebagai rasa terima kasih terhadap kebaikan sang raja kepada
mereka (Poesponegoro, 1993:37).
d.
Warisan
Meskipun tidak meninggalkan bangunan besar seperti candi Borobudur atau
kitab-kitab legendaris layaknya Negarakertagama, akan tetapi kerajaan Kutai memiliki tujuh buah
yupa yang menyimpan informasi berharga bagi perkembangan masyarakat Nusantara pada masa klasik.
Yupa-yupa tersebut dapat diidentifikasikan sebagai pelopor munculnya
kebudayaan menulis dan mencatat dalam peradaban masyarakat Nusantara kuno.
Kelak, pola penulisan seperti yupa akan diteruskan oleh kerajaan-kerajaan
bercorak Hindu lainnya di Nusantara.
Selain tujuh buah Yupa, warisan dari Kerajaan kutai adalah adanya figur binatang
mitologi yang bernama Lembuswana. Binatang mitologi tersebut dipercaya
merupakan kendaraan Bathara Guru dan memiliki semboyan Tapak Leman Ganggayaksa. Saat ini, patung Lembuswana tersebar luas
di wilayah Kalimantan Timur sebagai binatang mitologi kebanggaan masyarakat
Kutai.
Secara fisik, Lembuswana dicirikan memiliki kepala yang identik dengan singa, memakai mahkota guna melambangkan keperkasaan seorang raja, berbelalai gajah ibarat Ganesha sebagai salah satu dewa Hindu yang melambangkan
kecerdasan, dan bersayap garuda( id.wikipedia.org/wiki/Lembuswana : diakses 31 Mei 2018 pukul 08.50
WIB).
Kesimpulan
Kutai merupakan kerajaan Hindu pertama di Nusantara. Bukti keberadannya
tertuang dalam tujuh buah yupa. Raja yang terkenal adalah Mulawarman.
Belajar mengenai kerajaan Kutai dapat mengetahui bahwa kerajaan yang
terletak di tepi sungai Mahakam tersebut merupakan pionir munculnya
berbagai kerajaan-kerajaan besar Hindu lainnya di Nusantara pada masa-masa
berikutnya.
Sumber:
1. Djoened, Marwati Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
2. Hapsari, Ratna. Abdul Syukur. 2008. Eksplorasi Sejarah Indonesia dan Dunia. Jakarta: Erlangga.
3. Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1953. Riwayat Indonesia I. Jakarta:
Yayasan Pembangunan.
4. www.wacana.co.id diakses pada 10 April 2018 pukul 20.00 WIB.
5. id.wikipedia.org/wiki/Lembuswana : diakses 31 Mei 2018 pukul
08.50 WIB.
Oleh:
Baihaqi Aditya, S,Pd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar