Tanggal 17 Agustus 2018 menjadi hari super istimewa karena Republik Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-73 tahun. Semua warga
Negara Indonesia merayakannya dengan suka cita. Fenomena tersebut tidak lepas dari
fakta historis bahwa sebelum merasakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus
1945, Indonesia mengalami masa-masa kelam saat bangsa Eropa, terutama
Belanda dan dilanjutkan dengan “
saudara jauh yang katanya akan menyalamatkan bangsa Indonesia
”, yaitu Jepang datang dan melakukan kegiatan yang merugikan rakyat Indonesia, yaitu penjahan.
Penjajahan yang dilakukan terutama oleh Belanda dan Jepang memang berakhir dan Indonesia resmi merdeka. Akan tetapi, meskipun sudah memasuki usia 73 tahun, masyarakat awam banyak yang belum mengetahui darimana asal mula nama “Indonesia”. Siapa yang pertama kali memperkenalkan, mengapa diberi nama “Indonesia”, dan apa dampak yang diberikan terhadap penamaan “Indonesia”.
Berangkat dari hal itulah, penulis tertarik mengajak pembaca blog untuk mengetahui asal mula nama “Indonesia” sehingga menjadi nama resmi Negara pada saat ini dan untuk masa-masa yang akan datang.
Evolusi Nama Dari Nusantara, Hindia-Belanda, dan Indonesia
“
Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau…sambung menyambung
menjadi satu..itulah Indonesia….
” Penggalan lirik lagu Dari Sabang Sampai Merauke
ciptaan R. Suharjo sangat menarik untuk dibahas. Negara Kesatuan
Republik Indonesia merupakan salah satu Negara yang serba “wah”. Wilayah daratan dan lautnya sangat luas, memiliki ratusan kebudayaan mulai
dari bahasa, suku, dan adat istiadat. Selain itu, negara Indonesia juga terkenal dengan tingkat toleransi
beragama yang sangat tinggi. Tak ketinggalan juga kekayaan Sumber Daya
Alamnya menjadikan negara Indonesia salah satu yang diperhitungkan di dunia
internasional.
Akan tetapi, jika kita melihat ke belakang, tepatnya pada masa kejayaan
kerajaan Majapahit pada abad ke-14, pada saat itu wilayah Indonesia lebih
dikenal dengan nama “Nusantara”. Hal tersebut tidak lepas dari perjuangan Mahapatih Gajah Mada yang terkenal dengan sumpah “Tan Amukti Palapa". Ia ingin mempersatukan kerajaan-kerajaan yang tersebar di Nusantara untuk
tunduk dan setia di bawah kekuasaan Majapahit.
Menurut kitab Negarakertagama, sumpah “Tan Amukti Palapa” hampir seratus persen terealisasikan. Hal itu membuat kerajaan Majapahit menjadi salah satu imperium yang besar dan disegani di Asia Tenggara dengan. Zaman keemasan pada abad ke-14 itulah yang dirasakan para pendahulu kita. Masyarakat Majapahit dan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya menyebut wilayahnya dengan “Nusantara”.
Menurut kitab Negarakertagama, sumpah “Tan Amukti Palapa” hampir seratus persen terealisasikan. Hal itu membuat kerajaan Majapahit menjadi salah satu imperium yang besar dan disegani di Asia Tenggara dengan. Zaman keemasan pada abad ke-14 itulah yang dirasakan para pendahulu kita. Masyarakat Majapahit dan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya menyebut wilayahnya dengan “Nusantara”.
Dua ratus tahun kemudian, tepatnya pada akhir abad ke-16, ketika komoditas
rempah-rempah menjadi primadona di dunia dan zaman penjelajahan samudera
yang dilakukan orang-orang Barat dimulai, dimulailah babak baru bagi
sejarah di wilayah Nusantara. Satu demi satu wilayah Nusantara ditaklukkan
dan dikuasai oleh bangsa barat, khususnya Belanda. Mulai dari zaman V.O.C (kompeni kalo orang Jawa bilang) sampai
pemerintahan kolonial Belanda yang mengambil alih penjajahan, nama wilayah
Nusantara dikenal sebagai “Hindia-Belanda” karena dianggap wilayah Belanda
yang terletak di luar Eropa dan memiliki sumber rempah-rempah yang sangat
melimpah.
Hindia-Belanda membuat negeri Belanda di Eropa menjadi sangat makmur dan kaya, sementara masyarakat Hindia-Belanda (baca: masyarakat Nusantara) mayoritas kehidupannya sangat memprihatinkan. Kemiskinan, kelaparan, serba kekurangan dan munculnya perlawanan berdarah di berbagai daerah untuk melepaskan ikatan dengan Belanda menjadi gambaran umum masyarakat yang hidup pada saat itu.
Hindia-Belanda membuat negeri Belanda di Eropa menjadi sangat makmur dan kaya, sementara masyarakat Hindia-Belanda (baca: masyarakat Nusantara) mayoritas kehidupannya sangat memprihatinkan. Kemiskinan, kelaparan, serba kekurangan dan munculnya perlawanan berdarah di berbagai daerah untuk melepaskan ikatan dengan Belanda menjadi gambaran umum masyarakat yang hidup pada saat itu.
Memasuki pertengahan abad ke-19 sampai abad ke-20, ketika paham liberalisme
serta bangkitnya motivasi “berdiri di atas kaki sendiri” menggema dalam
diri masyarakat Hindia-Belanda, eksistensi nama “Hindia-Belanda” sedikit
demi sedikit mulai digugat. Pada tahun 1847, terbit sebuah jurnal ilmiah
bernama
Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia
(JIAEA). Jurnal ilmiah tersebut dikelola oleh ahli hukum berkebangsaan
Skotlandia bernama James Richardson Logan dan ahli etnologi, yaitu
George Samuel Windsor Earl yang berpaspor Inggris (Hapsari, 2008: 128).
Penampakan jurnal ilmiah yang terbit tahun 1847 yang mulai memuat nama "Indunesia"
Sumber: sumber http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/03/asal-usul-kata-indonesia
Kedua orang dari tanah Britania Raya itulah yang mulai mengenalkan nama “ Indonesia” kepada dunia internasional. Bermula ketika Windsor Earl menulis judul salah satu artikel di dalam jurnal JIAEA dengan judul “
On the Leading Charactheristic of the Papuan, Australian, and
Malay-Polinesian Nations
”. Menurut Winsor Earl di dalam artikelnya tersebut, sudah saatnya
masyarakat di kepulauan Hindia-Belanda memiliki nama yang khas karena
penamaan “Hindia” terkesan rancu dengan wilayah “India” di Asia Selatan
dimana pada saat itu India sendiri juga diduduki oleh Inggris.
Windsor Earl kemudian memberikan alternatif nama untuk menyebut masyarakat
di kepulauan Hindia-Belanda, yakni “Indunesia” dan “ Melayunesia”. Penggunaan suku kata “nesia” mengacu pada
bahasa Yunani, yaitu “nesos” yang berarti kepulauan. Menurut
Windsor Earl, penggunaan nama Indunesia maupun Melayunesia lebih cocok
untuk masyarakat di Kepulauan Hindia-Belanda pada saat itu karena
wilayahnya yang memiliki banyak pulau-pulau dan mayoritas beretnis Melayu.
Potret mbah George Samuel Windsor Earl (1813 -1865), si pencetus nama "Indunesia" untuk masyarakat di kepulauan Hindia-Belanda
Sumber: http://historyfacts95.blogspot.com
Ide dari Windsor Earl kemudian diteruskan oleh Logan. Pada salah satu
artikelnya yang diberi judul “ The Ethnology of the Indian Archipelago”, Logan
menyebut nama ”Indunesia” untuk menggantikan nama Hindia-Belanda.
Kemudian huruf “u” diganti “o” sehingga menjadi “Indonesia” pada
artikel-artikel selanjutnya agar pengucapannya terdengar
lebih baik. Kekonsistenan Logan menggunakan nama “Indonesia” membuat
wilayah Hindia-Belanda mulai dikenal di kalangan ilmuwan etnografi dan
geografi dengan nama “Kepulauan Indonesia”.
Potret mbah James Richardson Logan (1819 - 1869), ahli hukum dari Skotlandia yang mengenalkan dan mem-viral-kan nama "Indonesia" di kalangan para ilmuwan.
Sumber: http://penang.wikia.com/wiki/FileJames_Richardson_Logan
Makam mbah Logan yang berada di Penang, Malaysia. Makamnya terlihat angat membutuhkan perawatan intensif. Jasamu akan selalu terkenang mbah Logan, istirahatlah dalam damai....
Sumber: www.penang-traveltips.com/james-richardson-logan.htm
Pasca viral-nya nama “Indonesia” yang dipopulerkan Logan
di kalangan para ilmuwan saat itu, membuat seorang ahli etnologi dari
Universitas Berlin bernama Adolf Bastian (1826 – 1905) juga demam nama “ Indonesia”. Buku karangannya yang terbit tahun 1884 dengan judul “
Indonesian Order die Inseln des Malayischen Archipel
” semakin menguatkan nama Indonesia di kalangan para cendekiawan dari
negeri Belanda. Demikianlah, berkat jasa para ilmuwan dari Eropa seperti
Windsor Earl, Logan, dan Adolf Bastian nama “Indonesia” semakin
dikenal di pergaulan internasional pada akhir abad ke19.
Adolf Bastian (1826 - 1905), seorang antropolog asal Jerman yang pernah membuat tulisan mengenai "Indonesia" sehingga membuat negara dengan nama "Indonesia" secara tidak langsung semakin terkenal
Sumber: en.wikipedia.org/wiki/Adolf_Bastian
Pada awal ke-20, penggunaan nama “Hindia-Belanda” mulai memudar di kalangan
para tokoh nasionalis dan diganti menjadi “Indonesia”. Bumiputra asli yang pertama kali menggunakan nama “Indonesia”
adalah Suwardi Suryaningrat
alias Ki Hajar Dewantara. Ia mendirikan badan pers yang diberi nama “ Indonesieche Pers Bereau” pada tahun 1913. Penamaan “Indonesia”
kemudian semakin popular di kalangan para nasionalis sekitar
tahun 1920-an. Lama-kelamaan, nama “Indonesia” menjadi identitas
baru suatu bangsa yang menginginkan kemerdekaan dari penjajahan bangsa
asing yang telah berlangsung lebih dari tiga ratus tahun di wilayah zamrud
khatulistiwa tersebut.
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia,mahaguru bagi para pendidik di seluruh Indonesia. Beliaulah orang Indonesia pertama yang menggunakan nama "Indonesia" untuk aktivitas pergerakannya
Sumber: id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara
Puncak dari pengakuan nama “Indonesia” oleh kalangan pemuda dan
tokoh pergerakan terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 saat peristiwa Sumpah
Pemuda yang legendaris bagi bangsa Indonesia tersebut terlaksana. Pertemuan
tersebut semakin mengukuhkan bahwa dari masyarakat dari Sabang sampai
Merauke merasakan senasib dan sepenanggungan sehingga sepakat membentuk
jadi diri, yaitu bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa
persatuan, yaitu Indonesia.
Sumber:
1. Hapsari, Ratna. Abdul, Syukur. 2008.
Eksplorasi Sejarah Indonesia dan Dunia Untuk SMA Kelas XI Program IPS
. Jakarta: Erlangga.
Oleh:
Baihaqi Aditya, S,Pd.
Satu lagi artikel berkualitas dari blog berkualitas. Saya ada satu pertanyaan untuk anda, mengapa banyak masyarakat Indonesia yang tidak tahu asal muasal nama negaranya sendiri?
BalasHapus