Senin, 13 November 2017

ZAMAN MESOLITHIKUM, EMBRIO MUNCULNYA KEBUDAYAAN MASYARAKAT BAHARI

Zaman batu merupakan masa dimana manusia praaksara menggunakan alat-alat dari batu untuk menunjang kehidupannya. Melalui alat-alat tersebut membuat manusia pada saat itu mampu bertahan hidup dari ganasnya alam. Selain itu, manusia praaksara juga dapat membuat peradaban yang sedikit demi sedikit menuju ke tingkat yang lebih baik. Setiap proses perkembangan peradaban yang terjadi dalam sejarah umat manusia menarik untuk diungkap.

Ilustrasi kehidupan masyarakat Bahari pada zaman Mesolithikum. Dekat laut dan Hutan. Ada yang bakar-bakar seafood juga


Perkembangan zaman batu sendiri dalam sejarah Indonesia dibagi menjadi tiga. Yakni zaman Paleolithikum (batu tua), Mesolithikum (batu tengah), dan Neolithikum (batu baru). Pada kesempatan ini, penulis akan membahas membahas mengenai zaman Mesolithikum. Ada yang unik dari zaman ini, yaitu mulai terciptanya “embrio” masyarakat bahari. Adapun masyarakat pendukung Zaman Mesolithikum adalah suku bangsa Melanesoid, yang menjadi nenek moyang suku-suku di Papua dan kawasan Samudera Pasifik.

Pola Hidup Zaman Mesolithikum
Masyarakat Mesolithikum telah mengalami sedikit kemajuan dari zaman Paleolithikum. Kebutuhan perut alias konsumsi, masyarakatnya menggantungkan kegiatan berburu, meramu, dan bercocok tanam secara sederhana. Selain itu, jika pada masa Paleolithikum hidupnya selalu berpindah-pindah, maka di zaman Mesolithikum, mereka sudah memiliki tempat tinggal yang agak menetap (semi sedenter). Tempat tinggal semi menetap yang dipilih biasanya dekat dengan pantai. Dari hal itulah kemudan muncul keyakinan bahwa zaman Mesolithikum merupakan awal munculnya kebudayaan masyarakat bahari.

Gambaran hidup dekat dengan gua dan laut. Terlihat ada yang muter-muterin kayu untuk membuat api. Pegel tu tangan pastinya

Mengapa masyarakat Mesolithikum banyak yang memilih bertempat tinggal di dekat laut? Hal tersebut diyakini bahwa manusia pada saat itu sudah memiliki pemikiran hinter sea. Pemahaman hinter sea yaitu menganggap laut sebagai sumber kehidupan. Karena laut memiliki banyak sekali sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Wah berarti enak dong ya masyarakat Mesolithikum hampir setiap hari mengkonsumsi makanan seafood.

Olahan seafood jaman now.. Bahan dasar kerang, pengolahan yang berbeda.Hasilnya juga berbeda. 
Pesan Moral: Jika masyarakat Mesolithikum tidak mulai mengkonsumsi kerang, mungkin masa sekarang juga tidak dapat menikmati kerang

Jenis-jenis kerang.

Bukti bahwa zaman Mesolithikum merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat bahari dapat dilihat dari penemuan suatu objek yang menggunung di sepanjang pantai timur pulau Sumatera. Objek tersebut dinamakan kjokkenmoddinger. Susah ya membacanya? Memang karena kata tersebut berasal dari bahasa Denmark.

Corak hidup lain dari masyarakat Meoslithikum adalah pemilihan tempat tinggal sementara. Dari penemuan-penemuan ilmiah yang sudah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa zaman Mesolithikum masyarakatnya banyak yang menempati abris sous roche atau disebut juga goa tempat tinggal manusia. Susah lagi mengejanya? Memang, karena kata itu berasal dari Bahasa Perancis. Di dalam Abris Sous Roche, ditemukan pula alat-alat penunjang kehidupan. Perkakas yang ditemukan itu dibagi menjadi tiga, yaitu Pebble Culture, Bone Culture, dan Flakes Culture (Badrika, 2006:72).

Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa zaman Mesolithikum tidak bisa dilepaskan dari kegiatan di sekitar pantai maupun laut. Kegiatan di sekitar pandai berarti mengindikasikan bahwa masyarakat Mesolithikum sudah dapat membentuk “embrio” kehidupan masyarakat bahari.

Kjokkenmoddinger, The Oyster and Snail Shell Mountain

Ini dia penampakan dari kjokkenmoddinger di Pantai Timur Sumatera, susah-susah mengejanya..taunya cuma tumpukan sampah cangkang kerang dan siput

Sub judulnya sengaja dibuat secara English-english an biar agak menjual dan sedikit berbau internasional. Padahal artinya ya sama saja. Jadi kjokkenmoddinger itu adalah SAMPAH dapur peninggalan masyarakat zaman Mesolithikum berupa tumpukan kulit kerang dan siput yang sudah menggunung. Luar biasa itu, sampah saja bisa dijadikan bukti bahwa memang pada masa lampau eksistensi manusia praaksara benar-benar ada. Peneliti SAMPAH kulit kerang dan siput di Indonesia dilakukan oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda yang bernama Dr. P.V. Stein Callenfels. Ia melakukan penelitian tersebut pada tahun 1925. Bayangkan, jauh-jauh dari Belanda ke Indonesia hanya untuk meneliti SAMPAH kulit kerang. Benar-benar totalitas untuk mengabdi pada ilmu pengetahuan.

Makasih mbah Stein Callenfels, berkat dirimu bangsa Indonesia bisa mengetahui kehidupan nenek moyangnya sebelum mengenal tulisan. Terima kasih juga sudah repot-repot meneliti SAMPAH cangkang kerang dan siput di negara kami

Sampah dapur yang diteliti oleh Stein Callenfels di pantai timur Pulau Sumatera memiliki ketinggian sekitar 7 meter. Proses pembentukan kjokkenmoddinger diduga berasal dari keterbatasan masyarakat Mesolithikum untuk memanfaatkan kulit kerang dan siput. Sama seperti zaman now. Dimana-mana orang kalo makan kerang dan siput yang dimakan ya hanya dagingnya saja. Kulitnya? dibuang bahkan ada yang berserakan.

Hal serupa juga terjadi pada zaman Mesolithikum. Namun, ada satu keunikan. Yaitu kemampuan manusia praaksara untuk menyatukan atau mengumpulkan sampah cangkang itu pada satu tempat saja hingga menggunung. Hal ini mencerminkan kehidupan mereka saat itu sudah mengenal slogan “ Buanglah sampah pada tempatnya, buanglah cangkang kerang dan siput pada satu tempat saja ”.

Selain ditemukan sampah dapur, di sekitar tempat tersebut Callenfels juga menemukan alat penunjang kehidupan masyarakat Mesolithikum seperti sumateralith (kapak sumatera), bache courte (kapak pendek), dan batu penggiling.

Sketsa dari sumateralith atau kapak batu dari sumatera, diyakini sebagai alat untuk memecahkan cangkang kerang yang keras.

Batu penggiling yang ditemukan oleh mbah Callenfels di sekitar kjokkenmoddinger. Diduga fungsinya untuk menghaluskan cat berwarna merah

Abris Sous Roche, Home Sweet Home For Prehistoric People
Thanks to Stein Callenfels, karena berkat kegigihannya mengungkap kehidupan masa praaksara di Indonesia, ia berhasil menemukan Karakteristi lain dari zaman Mesolithikum. Penemuan Callenfels di daerah Sampung, Kabupaten Ponorogo dinamainya Abris Sous Roche. Apa lagi itu? Bahasa dari mana itu? Itu tempat apa ya? Oke..Abris Sous Roche secara bahasa berasal dari Bahasa Perancis. Memiliki arti sebagai goa tempat tinggal yang menyerupai ceruk batu karang. Jika diibaratkan zaman sekarang, Abris Sous Roche itu sama saja dengan rumah. Dimana fungsi utamanya sebagai pelindung dari hujan dan panas. Jadi slogan “ Home sweet home” dan “my house my palace” sudah digunakan masyarakat saat itu.

"Rumahku, Istanaku". Mungkin itulah yang ada di pikiran manusia Mesolitikhum. Abris Sous Roche adalah hunian mewah pada saat itu

Selain digunakan untuk melindungi diri dari panas, hujan, bahkan ancaman dari makhluk hidup lainnya, Abris Sous Roche juga digunakan sebagai sarana manusia praaksara untuk dapat berkreasi secara maksimal. Hal itu dibuktikan ketika masuk ke dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan alat-alat penunjang kehidupan seperti ujung panah, tanduk rusa, flakes (pisau batu yang bentuknya sangat kecil).

Lukisan cap telapak tangan di dinding-dinding Abris Sous Roche. Yang ini ditemukan di daerah Kepala Burung, Papua

Penemuan luar biasa lainnya di dalam Abris Sous Roche adalah ditemukan lukisan praaksara pada batu padas di daerah Kepala Burung, Papua.

Kesimpulan
Zaman Mesolithikum merupakan periode penting bagi perkembangan zaman batu di Indonesia. Penemuan kjokkenmoddinger dan Abris Sous Roche serta alat-alat pendukungnya mengindikasikan bahwa zaman ini setingkat lebih baik dari masa Paleolithikum. Dapat diambil kesimpulan pula bahwa era yang semakin canggih dan semakin maju merupakan update-an dari masa sebelumnya. Tanpa ada masa lampau..kehidupan sekarang juga tidak akan pernah ada. Tanpa ada pewarisan nilai-nilai luhur dan perjuangan nenek moyang pada masa lalu, mau jadi apa generasi sekarang dan seterusnya….

Sumber:
Badrika, I Wayan.2006. Sejarah Indonesia Untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta: Erlangga

Oleh:
Baihaqi Aditya, S.Pd

Baca Juga:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar