Senin, 18 September 2017

KEHIDUPAN MASYARAKAT AWAL INDONESIA BERBURU DAN MERAMU


Sering penulis mendengar langsung celotehan anak zaman sekarang. Seperti “eh kita nanti hunting spot baru buat foto-foto yuk..biar selalu eksis..hari gini gak eksis? hello..apa kata dunia?”

Atau kalimat yang seperti ini “eh gadget yang kamu gunain kok masih itu to..ketinggalan jaman..kayak manusia purba saja”.

Tidak tahukah mereka bahwa penggunaan kata “hunting” biar kelihatan keren justru sudah dipraktekkan sejak zaman behula, zaman dimana manusia mulai membentuk peradaban awal. Siapa yang memulai kegiatan “ hunting” tersebut? Jelas manusia praaksara.

Berdasarkan dua kata kunci tadi, yaitu “hunting” dan “manusia purba” penulis tertarik untuk mengulas sedikit tentang kehidupan masyarakat awal Indonesia, yaitu masa berburu dan meramu.

Lingkungan Alam

Kehidupan masa praaksara sangat keras, siap-siap mau panen daging rusa, eh si meong purba datang..gagal deh pesta daging rusanya

Seperti yang kita bayangkan dan ketahui,
kehidupan masyarakat berburu dan meramu sangatlah sederhana. Kehidupan Mereka tergantung apa yang disediakan oleh alam (Badrika, 2006:100). Arti kata berburu sendiri adalah kegiatan mengincar binatang atau sumber makanan dengan dua potensi, yakni berhasil atau gagal. Sedangkan meramu adalah aktivitas mengumpulkan bahan makanan yang tersedia oleh alam, biasanya dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan, seperti buah dan sayur.

Masyarakat praaksara pada masa berburu dan meramu tinggal di alam terbuka, seperti goa, tepi sungai, dan hutan. Selain itu lingkungan alamnya masih sangat ganas dan banyak ancaman, seperti binatang buas. Jadi bisa kita bayangkan kehidupan pada zaman masyarakat awal Indonesia sangat keras sekali. Nenek moyang kita fighter sekali ya dalam mempertahankan hidupnya.

Kehidupan Sosial

Kira-kira seperti inilah satu kelompok masyarakat praaksara berburu dan meramu .tidak lebih dari 20 orang

Masyarakat pada masa berburu dan meramu hidup dalam kelompok-kelompok kecil, sekitar 10-15 orang. Hampir mirip seperti satu regu pramuka yang terdiri dari 8-12 orang. Setiap kelompok masyarakat memiliki ketua kelompok yang sangat dihormati oleh anggota kelompoknya. Mereka (kelompok masyarakat berburu dan meramu) hidupnya selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Pola hidup seperti ini disebut nomaden. Perpindahan tempat tinggal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Hubungan antar anggota kelompok terjalin erat. Masyarakat zaman berburu dan meramu dalam memperoleh makanan mengandalkan kerjasama kelompok. Misalkan, ketika akan memburu rusa purba, tiga atau empat laki-laki akan bekerja sama guna melumpuhkan rusa tersebut. Mereka tahu jika berhadapan satu lawan satu dengan binatang buruan akan kesulitan, sehingga penggunaan taktik kerjasama dirasa lebih efektif.

Laki tanding kalau sebanding..Kalau tidak sebanding ya kerjasama alias keroyokan. Demi bertahan hidup bung! Terlihat sekelompok laki-laki berburu gajah purba

Meskipun kehidupannya masih sederhana, masyarakat berburu dan meramu telah mengenal pembagian tugas kerja. Laki-laki biasanya berburu binatang dan melindungi anggotanya dari ancaman binatang buas sedangkan kaum wanita mengumpulkan buah-buahan di hutan dan menjaga anak-anaknya. Dari paparan di atas, dapat terlihat adanya tanda-tanda kehidupan sosial meskipun tarafnya masih sederhana.
Kaum wanita dari kelompok masyarakat berburu dan meramus sedang memetik buah berry untuk tambah-tambahan kebutuhan hidup

Kehidupan Budaya
Goa merupakan tempat aman bagi masyarakat berburu dan meramu untuk melindungi diri dan mengembangkan peradabannya. Mereka membuat alat-alat penunjang kehidupan, seperti alat pemotong, alat berburu, dan alat pengeruk tanah. Dikenalnya alat-alat tersebut mengindikasikan bahwa zaman berburu dan meramu masuk dalam masa Paleolithikum (batu tua). Benda-benda hasil kebudayaan zaman berburu dan meramu antara lain:

a. Kapak Perimbas
Inilah benda yang sangat berjasa bagi manusia praaksara berburu dan meramu.Namanya kapak perimbas. Penggunaannya kalo tidak dipukulkan ya dilempar ke target. Siapa tahu bisa headshoot

Kapak perimbas bentuknya seperti batu yang tidak memiliki tangkai atau bagian untuk digenggam. Jadi bentuknya seperti sebongkah batu yang ujungnya tidak rata bahkan cenderung kasar. Masyarakat zaman berburu dan meramu menggunakannya dengan cara dilempar atau dipukulkan ke binatang buruan. Kapak ini banyak ditemukan di daerah Punung (Pacitan). Penelitian alat ini dilakukan oleh von Koenigswald pada tahun 1955. Von Koengiswald menyimpulkan kapak perimbas digunakan oleh manusia praaksara jenis Pithecanthropus erectus karena tempat ditemukannya kapak perimbas satu lapisan tanah dengan fosil Pithecanthropus.

Selain di wilayah Pacitan, kapak perimbas juga ditemukan di luar Indonesia. Seperti di Malaysia, Thailand, Tiongkok, dan Vietnam.

b. Kapak Penetak

Sebelas duabelas dengan kapak perimbas.. Hanya saja lebih besar ukurannya. Ini kelihatan agak kecil kemungkinan karena di jepret dari jauh

Kapak penetak hampir memiliki bentuk yang identik dengan kapak perimbas. Hanya saja ukurannya lebih besar dan cara pembuatannya juga masih kasar. Kapak perimbas digunakan untuk memotong kayu. Kapak ini hampir ditemukan di seluruh wilayah Indonesia.

c. Alat Serpih
Alat serpih..bisa digunakan untuk mengupas buah maupun menguliti kulit binatang. Bentuknya mirip pisau dapur tapi terbuat dari batu

Alat serpih bentuknya menyerupai pisau tetapi terbuat dari batu. Dari bentuknya yang mirip pisau, diyakini jika alat serpih dimanfaatkan untuk memotong, mengupas, dan menggali makanan yang tersimpan di bawah tanah.

d. Alat-Alat dari Tulang

Bahkan tanduk rusa juga dimanfaatkan oleh manusia praaksara untuk alat berburu. Kemungkinan besar rusa bisa menyaingi  manfaat pohon kelapa karena hampir sebagian besar dari bagian rusa bisa dimanfaatkan semua

Alat-alat dari tulang binatang biasanya digunakan masyarakat berburu dan meramu untuk keperluan melumpuhkan binatang buruan. Contoh alat yang terbuat dari tulang antara lain tanduk rusa dan mata panah.

Kehidupan Ekonomi

"Prinsip ekonomi? Apa itu!" Gumam manusia praaksara zaman berburu dan meramu. Ekonomi bagi mereka ya memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan kelompoknya. Terlihat sekelompok manusia praaksara sedang enjoy menikmati daging bakar di dalam gua

Sudah dijelaskan bahwa satu kelompok masyarakat zaman berburu dan meramu jumlahnya tidak terlalu banyak, yakni antara 10-15 orang. Jumlah yang sedikit dan terbatas itu memudahkan kelompok manusia zaman berburu dan meramu mudah memenuhi kebutuhan hidupnya. Apabila sumber makanan di tempat tersebut habis, mereka akan pindah sampai menemukan sumber makanan berikutnya.

Jadi belum ada sistem penukaran barang dengan barang seperti barter. Sistem penukaran saja belum terpenuhi, apalagi sistem pembayaran seperti uang, belum mudeng masyarakat berburu dan meramu dengan sistem seperti itu. Fokus dalam kelompok manusia praaksara berburu dan meramu adalah self economic, artinya memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri artau hidup kelompoknya.

Sistem Kepercayaan

Masyarakat praaksara menguburkan anggotanya yang sudah meninggal Tampak pemimpin kelompok memimpin penguburan. Sudah tahu kan pemimpin kelompoknya yang mana? Iya, itu yang pake helm rusa

Meskipun hidup dalam taraf yang masih sederhana, manusia praaksara zaman berburu dan meramu sudah memiliki pemikiran ada kekuatan di luar kemampuannya. Penemuan kuburan dari masa berburu dan meramu sudah menjadi bukti bahwa sesederhana peradabannya, manusia masih memiliki rasa untuk memberikan penghormatan terakhir kepada orang yang sudah meninggal. Mereka percaya, orang yang sudah meninggal dunia masih dapat berhubungan dengan orang yang masih hidup. Pemikiran ini yang akan melahirkan sistem kepercayaan pada masa-masa selanjutnya dalam kehidupan manusia praaksara.

Meskipun tingkat pemikiran manusia zaman berburu dan meramu masih sangat sederhana, dengan adanya sistem penguburan dapat dikatakan bahwa tingkat kehidupan manusia sudah lebih tinggi dari makhluk hidup lainnya.

Kesimpulan
Zaman berburu dan meramu membuat manusia praaksara mampu mengembangkan peradabannya meskipun dalam tingkat sederhana. Hidup berpindah-pindah, bergantung apa yang disediakan oleh alam, berkelompok dalam skala kecil, alat-alatnya terbuat dari batu yang masih kasar, makan dan minum untuk kebutuhan kelompok, dan adanya sistem penguburan sudah dapat membuat kita menggambarkan bagaimana kerasnya tantangan alam dan perjuangan berat yang harus dilalui para pendahulu kita itu. Hendaknya kita, saya dan anda pembaca tulisan ini banyak bersyukur dan bangga bahwa eskistensi manusia masih ada karena berkat perjuangan mempertahankan hidup dari para manusia-manusia non-aksara tersebut.

Oleh:
Baihaqi Aditya, S.Pd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar