Selasa, 12 September 2017

MANUSIA-MANUSIA PRAAKSARA YANG ADA DI INDONESIA

Ilustrasi Kehidupan manusia praaksara di sekitar gua

Indonesia, sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, dikenal sebagai wilayah yang diyakini menjadi tempat tinggal dan bermukimnya manusia praaksara. Banyak bukti-bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa Indonesia merupakan tempat tinggal manusia praaksara.
Contohnya ditemukan fosil-fosil manusia praaksara beserta alat-alat kebudayaannya yang hampir tersebar di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, dalam postingan kali ini kita ulas lebih mendalam tentang manusia praaksara yang ada di Indonesia.

Definisi Manusia Praaksara


Ilustrasi kehidupan manusia praaksara di Pulau Jawa pada zaman Neolithikum

Manusia Praaksara atau lebih dikenal dengan manusia purba merupakan manusia yang hidup jauh sebelum tulisan ditemukan. Mayoritas manusia praaksara memiliki volume otak yang lebih kecil dibandingkan manusia modern. Kehidupan manusia praaksara masih sangat sederhana. Demi memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka masih menggunakan alat-alat yang masih sederhana, mayoritas alat-alat yang dibuat oleh manusia praaksara berasal dari batu.


Lalu, bagaimana para ahli dapat mendeskripsikan kehidupan manusia praaksara? Mereka mampu mengungkap kehidupan manusia praaksara setelah berhasil menemukan sisa-sisa peninggalan seperti fosil dan artefak. Penemuan-penemuan tersebut dirangkai dan disusun sehingga para ahli mampu menggambarkan kehidupan manusia praaskara. Kebetulan sekali, peninggalan-peninggalan manusia praaksara banyak ditemukan di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.

Jenis Manusia Praaksara di Indonesia
Berdasarkan penemuan fosil dan artefak manusia praaksara dari para ahli, dapat diketahui ternyata di Indonesia terdapat beberapa jenis manusia praaksara yang pernah hidup pada zamannya, antara lain:

1) Meganthropus paleojavanicus


Mbah von Koenigswald, penemu fosil Meganthropus paleojavanicus

Pada tahun 1941. Gustav Heinrich Rudolf von Koenigswald menemukan fosil di Sangiran berupa sebagian rahang bawah manusia berukuran besar. Setelah direkonstruksi, kemudian para ahli menamai temuan von Koenigswald dengan nama Meganthropus paleojavanicus yang memiliki arti Manusia besar dari Pulau Jawa. Manusia praaksara ini memiliki rahang yang sangat kuat, tulang pipi yang tebal dan badannya tegap. Diperkirakan Meganthropus paleojavanicus dalam mempertahankan hidupnya memakan tumbuh-tumbuhan. Ya semacam herbivora begitu tapi ini jenis manusia.


Fosil tengkorak temuan mbah von Koenigswald


2) Pithecanthropus

Tamvan dan berkumis, inilah orang yang menemukan manusia jenis Pithecanthropus

Eugene Dubois (baca: Yujin Duboa), adalah seorang dokter berkebangsaan Belanda yang pertama kali datang ke Indonesia pada masa koloniasme. Tujuannya datang ke Indonesia adalah melakukan penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan manusia praaksara di Indonesia. Gayung bersambut, tak disangka, pada tahun 1890, di dekat desa Trinil, Jawa Timur, ia menemukan tengkorak yang memiliki volume otak 900cc. Setelah direkonstruksi, terbentuk kerangka manusia, tetapi masih memiliki tanda-tanda primata. Oleh karena itu, temuan Dubois kemudian dinamai Pithecanthropus erectus yang berarti manusia kera yang berjalan tegak.


Ilustrasi kehidupan manusia Pithecanthropus, belum berpakaian.. dimaklumi ya 

Selain Pithecanthropus erectus, terdapat juga jenis Pithecanthropus lainnya, yakni Pithecanthropus mojokertensis dan Pithecanthropus soloensis. Sesuai nama belakangnya, Pithecanthropus mojokertensis ditemukan di daerah Mojokerto oleh von Koenigswald sementara Pithecanthropus soloensis yang diteliti oleh Weidenrich ditemukan di lembah Sungai Bengawan Solo.

3) Homo


Intelek dan bergaya klimis, begini-begini dia yang menemukan manusia praaksara jenis Homo, nenek moyang dari manusia modern

Fosil jenis Homo pertama kali ditemukan oleh van Reitschoten di daerah Wajak. Hasil penemuannya kemudian dinamai Homo wajakensis. Ciri-ciri fosil manusia berjenis Homo wajakensis ini bermuka lebar, hidung dan mulutnya menonjol, dahi tidak terlalu menonjol, dan bagian gigi mengalami penyusutan. Oleh karena itu, hasil penemuan vam Reitschoten disebut juga Homo Sapiens atau secara harfiah dapat diartikan “manusia sempurna atau manusia bjak”.


Pemberian nama “manusia sempurna” mengacu pada segi fisik dan volume otak yang dimiliki oleh manusia Homo sapiens tidak jauh berbeda dengan manusia modern saat ini. Memiliki tinggi rata-rata 130-210 cm, badan yang tegak, dan volume otak rata-rata 1.400 cc sudah cukup membuat golongan manusia Homo sapiens menjadi spesies dengan pola pikir dan peradaban yang lebih baik dari manusia praaksara dari jenis lain.

Pada awalnya, manusia Homo sapiens memiliki pola hidup yang sangat sederhana dan selalu mengembara. Pengembaraan atau “petualangan” demi mencapai kehidupan yang lebih menjanjikan di berbagai belahan dunia inilah yang dipercaya membuat Homo sapiens menjadi nenek moyang berbagai bangsa di dunia.

Beberapa spesimen manusia praaksara berjenis Homo sapiens di Indonesia dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Manusia Wajak


Kira-kira seperti inilah gambaran dan bentuk manusia Wajak

Manusia Wajak atau Homo wajakensis sampai saat ini merupakan penemuan satu-satunya di Indonesia yang dapat disejajarkan dengan manusia modern awal. Fosil Homo wajakensis pertama kali ditemukan oleh van Reitschoten pada tahun 1889 di lereng pegunungan Campurdarat, dekat Tulungagung. Sartono Kartodirjo menguraikan temuan Reitschoten tersebut berupa tengkorak, rahang bawah,dan beberapa ruas leher. Setelah direkonstruksi, dapat diketahui wajahnya datar dan lebar, dahinya agak miring dan di sekitar mata terdapat busur kening. Fosil tengkorak Homo wajakensis ini diperkirakan seorang wanita berusia 30 tahunan dengan volume otak mencapai 1630 cc.

Diperkirakan, dari manusia Wajak inilah kemudian muncul sub-ras Melayu Indonesia. Manusia Wajak kemungkinan besar tidak hanya menghuni pulau-pulau bagian Barat Indonesia, tetapi juga mendiami sebagian kepulauan Indonesia bagian timur.

b. Manusia Liang Bua


Frodo dkk, bangsa Hobbit atau kurcaci yang muncul di film trilogi "Lords of The Ring"



Tahu film bertema fiksi-kolosal-aksi seperti “ Lords of The Rings Trilogy” atau “The Hobbit”?. Nah jika tahu kedua film tersebut, pastinya tidak asing dengan sosok manusia kerdil atau manusia pendek yang dijuluki ras Hobbit. Ternyata sosok serupa juga ada di kehidupan nyata. Manusia sejenis “hobbit” tersebut dinamai Homo floresiensis.


Gua yang dipercaya menjadi comfortzone dan tempat PW bagi manusia Liang Bua. Liang Bua sendiri artinya gua yang dingin

Homo floresiensis ditemukan oleh Peter Brown, Mike Morwood, dan Tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada tahun 2003 di bulan September. Sisa-sisa fosil Homo floresiensis ditemukan di sebuah gua yang bernama Liang Bua, Flores. Sehingga penemuan tersebut juga dinamakan Manusia Liang Bua. Manusia Liang Bua memilki ciri-ciri tengkorak yang panjang, berukuran kecil, dan memiliki volume otak sebesar 380 cc. Cukup aneh dan unik, kenapa? Karena kapasitas otak manusia Liang Bua sangat jauh di bawah Homo sapiens (1.400 cc). Bahkan yang lebih mengejutkan, kapasitas otaknya masih di bawah simpanse (450 cc).

Mantap djiwa! Kira-kira seperti inilah wujud wajah dari Manusia Liang Bua. Bahkan sudah layak tampil sebagai cover film


Dari hal-hal yang telah kita ulas di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia praaksara merupakan manusia yang hidup jauh sebelum mengenal tulisan. Kehidupan mereka yang tidak mengenal tulisan bukan berarti tidak menghasilkan apa-apa. Meskipun belum mengenal tulisan, manusia praaksara sudah mampu membuat peradaban meskipun dalam taraf yang masih sederhana dan terus mengalami perkembangan. Manusia praaksara di Indonesia terdapat tiga jenis, yakni Meganthropus, Pithecanthropus, dan Homo.

Nilai penting yang dapat diambil dengan mempelajari manusia praaksara yaitu, eksistensi dan perkembangan hidup manusia saat ini tidak lepas dari sumbangsih dan perjuangan manusia praaksara (jenis Homo sapiens) pada zamannya. Kegigihan melawan tantangan alam membuat manusia praaksara mampu mempertahankan hidupnya bahkan membuat peradaban yang semakin baik dari waktu ke waktu.


Oleh:
Baihaqi Aditya, S.Pd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar